Teori-Teori Umum tentang Perilaku Menyimpang
Teori-teori umum tentang penyimpangan berusaha menjelaskan semua contoh penyimpangan sebanyak mungkin dalam bentuk apapun (misalnya kejahatan, gangguan mental, bunuh diri dan lain-lain). Berdasarkan perspektifnya penyimpangan ini dapat digolongkan dalam dua teori utama. Perpektif patologi sosial menyamakan masyarakat dengan suatu organisme biologis dan penyimpangan disamakan dengan kesakitan atau patologi dalam organisme itu, berlawanan dengan model pemikiran medis dari para psikolog dan psikiatris. Perspektif disorganisasi sosial memberikan pengertian pemyimpangan sebagai kegagalan fungsi lembaga-lembaga komunitas lokal. Masing-masing pandangan ini penting bagi tahap perkembangan teoritis dalam mengkaji penyimpangan.
Teori-Teori Sosiologi tentang Perilaku Menyimpang
Teori anomi adalah teori struktural tentang penyimpangan yang paling penting selama lebih dari lima puluh tahun. Teori anomi menempatkan ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai penyebab penyimpangan, di mana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan dari pada cara-cara yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan budaya itu. Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus menyesuaikan diri dan beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan. Sebagian besar orang menganut norma-norma masyarakat dalam waktu yang lama, sementara orang atau kelompok lainnya melakukan penyimpangan. Kelompok yang mengalami lebih banyak ketegangan karena ketidakseimbangan ini (misalnya orang-orang kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi penyimpangan daripada kelompok lainnya.
Teori sosiologi atau teori belajar memandang penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Pembelajaran itu mungkin tidak kentara, misalnya saat orang belajar bahwa penyimpangan tidak mendapat hukuman. Tetapi pembelajaran itu bisa juga termasuk mangadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang menetapkan penyimpangan diinginkan atau dibolehkan dalam keadaan tertentu. Teori Differential Association oleh Sutherland adalah teori belajar tentang penyimpangan yang paling terkenal. Walaupun teori ini dimaksudkan memberikan penjelasan umum tentang kejahatan, dapat juga diaplikasikan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Sebenarnya setiap teori sosiologis tentang penyimpangan mempunyai asumsi bahwa individu disosialisasikan untuk menjadi anggota kelompok atau masyarakat secara umum. Sebagian teori lebih menekankan proses belajar ini daripada teori lainnya, seperti beberapa teori yang akan dibahas pada Bab berikutnya.
Teori-teori umum tentang penyimpangan mencoba menjelaskan semua bentuk penyimpangan. Tetapi teori-teori terbatas lebih mempunyai lingkup penjelasan yang terbatas. Beberapa teori terbatas adalah untuk jenis penyimpangan tertentu saja, atau untuk bentuk substantif penyimpangan tertentu (seperti alkoholisme dan bunuh diri), atau dibatasi untuk menjelaskan tindakan menyimpang bukan perilaku menyimpang. Dalam bab ini perpektif-perpektif labeling, kontrol dan konflik adalah contoh-contoh teori-teori terbatas yang didiskusikan.
Perspektif labeling mengetengahkan pendekatan interaksionisme dengan berkonsentrasi pada konsekuensi interaksi antara penyimpang dengan agen kontrol sosial. Teori ini memperkirakan bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol sosial tersebut mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi. Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah menghasilkan sebaliknya.
Perspektif kontrol adalah perspektif yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial. Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.
Teori konflik adalah pendekatan terhadap penyimpangan yang paling banyak diaplikasikan kepada kejahatan, walaupun banyak juga digunakan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Ia adalah teori penjelasan norma, peraturan dan hukum daripada penjelasan perilaku yang dianggap melanggar peraturan. Peraturan datang dari individu dan kelompok yang mempunyai kekuasaan yang mempengaruhi dan memotong kebijakan publik melalui hukum. Kelompok-kelompok elit menggunakan pengaruhnya terhadap isi hukum dan proses pelaksanaan sistem peradilan pidana. Norma sosial lainnya mengikuti pola berikut ini. Beberapa kelompok yang sangat berkuasa membuat norma mereka menjadi dominan, misalnya norma yang menganjurkan hubungan heteroseksual, tidak kecanduan minuman keras, menghindari bunuh diri karena alasan moral dan agama.
Homoseksualitas menyangkut orientasi dan perilaku seksual. Perilaku homoseksual adalah hubungan seks antara orang yang berjenis kelamin sama. Orientasi homoseksual adalah sikap atau perasaan ketertarikan seseorang pada orang lain dengan jenis kelamin yang sama untuk tujuan kepuasan seksual. Lebih banyak perilaku homoseksual dibandingkan orang yang memiliki orientasi homoseksual. Norma dan aturan hukum yang melarang homoseksualitas dianggap kuno, di mana opini masyarakat akhir-akhir ini lebih bisa menerima homoseksualitas.
Perkembangan suatu orientasi homoseksualitas terjadi dalam konteks biologis. Tetapi makna sesungguhnya dari orientasi tersebut berada dalam proses sosialisasi seksual dan penerimaan serta indentifikasi peran seks. Sosialisasi seksual adalah suatu proses yang kompleks yang dimulai dari belajar norma. Norma-norma seksual mengidentivikasi objek seksual, waktu, tempat dan situasi. Banyak kombinasi yang mungkin dapat terjadi dan termasuk terjadinya kesalahan dalam sosialisasi. Preferensi seksual terbentuk saat masa remaja, walaupun banyak juga para homoseksual yang menjadi homoseksual di usia yang lebih tua. Penerimaan identifas homoseksual terjadi setelah suatu proses peningkatan aktivitas homoseksual dan partisipasi dalam suatu subkebudayaan homoseksual atau komunikasi homoseksual. Secara sosiologis, seorang homoseksual adalah orang yang memiliki identitas homoseksual.
Homoseksualitas Perempuan (Lesbianisme)
Lesbianisme, sama dengan homoseksual pada laki-laki, terjadi melalui penerimaan orientasi seksual lesbian. Lesbian lebih cenderung membangun orientasi seksualnya dalam konteks hubungan pertemanan dengan perempuan lainnya. Hubungan seks antara lesbian, terjadi dalam konteks berjalannya hubungan sosial dengan perempuan lain. Hubungan antara para lesbian umumnya berlangsung dalam jangka waktu lama, bukan berarti para homoseks tidak membangun hubungan seperti ini. Namun lesbian lebih cenderung selektif dalam memilih pasangan seks dan tidak banyak terlibat dalam subkebudayaan lesbian. Karena lesbianisme ini lebih bersifat pribadi dan rahasia, para lesbian tidak banyak mendapat ancaman dari stigma sosial atau hukum. Perilaku dan orientasi seksual mereka tidak begitu nyata bagi orang lain. Dan karena alasan ini, para lesbian tidak banyak membutuhkan dukungan suasana subkebudayaan lesbian.
Perilaku menyimpang secara sosiologis dan generallly dapat diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial.
|
Definisi
Menurut arti bahasa yang termuat dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KLBI)1), perilaku menyimpang diterjemahkan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang mengacu pada norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perilaku seperti itu –penyimpangan perilaku atau perilaku menyimpang– terjadi karena seseorang [telah] mengabaikan norma, aturan, atau tidak mematuhi patokan baku, berupa produk hukum baik yang tersirat maupun tersurat dan berlaku di tengah masyarakat. Sehingga perilaku [pelaku]nya sering disematkan dengan istilah-istilah negatif, yang notabene dianggap kontraproduktif dengan aturan yang sudah ditetapkan atau terdapat di dalam norma-norma maupun hukum Agama dan negara.
Perilaku menyimpang atau penyimpangan perilaku itu sendiri dapat dipetakan dalam tinjauan beberapa aspek dan sudut pandang, di antaranya:
- Seks, atau berkenaan dengan kebutuhan biologis individu maupun kelompok, perilakunya disebut sebagai penyimpangan seks atau seks menyimpang.
- Hukum Negara dan Agama, atau hak hidup individu, atau berkenaan dengan motif seseorang dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya yang esensial, perilakunya disebut dengan penyimpangan atau pelanggaran hukum dan/atau norma agama.
- Perilaku, berkenaan dengan cara berfikir atau pandangan dan perbuatan atau tingkah laku individu yang tidak sesuai dengan etika pergaulan yang berlaku di dalam masyarakat, perilakunya disebut dengan perilaku menyimpang.
- Keilmuan, berkenaan dengan cara berfikir (kognitif), konsep, pandangan, gagasan, dogma, teori yang diajukan ke tengah masyarakat berpengetahuan (knowledge society) dan tidak sejalan dengan hukum, ketetapan, postulat yang telah berlaku (mapan) sebelumnya, disebut dengan penyimpangan konsep atau teori.
Norma Norma
Norma yang ditetapkan, baik tersirat maupun tersurat, dan belaku di dalam masyarakat adalah berupa tata aturan atau peraturan yang mengikat kelompok individu dalam suatu daerah atau wilayah dan berlangsung dalam kurun waktu tertentu untuk mengendalikan (controlling) tingkah laku yang dianggap baik. Dalam definisi lain disebutkan bahwa norma2) merupakan aturan atau rambu-rambu yang membatasi kelompok masyarakat dalam bertingkah laku, agar tidak menyimpang dari kebenaran, batas kepatutan atau etika pergaulan, dan aturan yang telah ditetapkan dalam peraturan atau hukum negara. Norma juga bisa berisikan tentang aturan atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu, atau ukuran yang dapat dipakai untuk memperbandingkan sesuatu.
Norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, khususnya di Indonesia, di antaranya adalah:
- norma agama, adalah aturan atau tatanan tindakan manusia dalam pergaulan dengan sesamanya, agar tidak menyimpang dari kebenaran,
- norma sosial, adalah konsep yang mengatur dan mengikat manusia agar bertindak baik dalam pergaulan dengan sesamanya,
- norma susila, adalah konsep yang mengatur tindakan manusia dalam pergaulan sehari-hari, dan
- norma adat atau etika pergaulan yang berlaku setempat maupun internasional, serta
- norma-norma yang tidak tertulis lainnya, namun berlaku umum (culture).
Begitu pula dengan norma atau hukum yang diterapkan oleh masyarakat, meliputi hukum agama (syariat agama), hukum negara dengan segala bentuk produk hukum lainnya, dan hukum alam atau hukum rimba. Namun, perlu diingat, menurut Hery Santoso seorang peneliti dan psikoterapis,3) sekaligus penulis dengan nama pena HS Harding, disebutkan bahwa perilaku menyimpang yang "keluar" dari norma-norma kepatutan itu tidak berlaku hanya dibebankan kepada individu saja, melainkan bisa saja terjadi pada kelompok masyarakat itu sendiri. Sebagai misal sesuatu yang telah terlanjur "salah kaprah". Sedangkan orang-orang yang tetap berpegang teguh pada norma disebut tindakan yang bersifat normatif.
Norma tidak tertulis
Norma tidak tertulis adalah aturan main yang tidak tampak jelas produk hukumnya dan siapa yang membuatnya, namun berlaku dalam pergaulan antar individu di tengah pergaulan masyarakat baik di perkotaan (kota besar) maupun di daerah pelosok pedesaan, seperti hukum adat yang humanis dan lugu, polos, atau begitu sederhana, namun mengikat yang tiada pandang bulu siapa pelakunya.
Contoh kasus:4) Pada kelompok masyarakat tertentu tidak akan dengan mudahnya dapat menerima atau menghilangkan ingatan dari dalam diri mereka tentang masa lalu seseorang yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma, agama, negara dan hukum yang berlaku. Di mana, mereka seolah-olah tidak dapat melegitimasi perubahan sikap dan sifat seseorang yang bisa berubah secara spontan.
Misalnya, mantan seorang napi yang secara tiba-tiba dan dalam waktu sekejab berubah menjadi seorang Mubaligh atau ahli Zikir. Sebaliknya masyarakat umum telah terlanjur melegitimasi suatu kebenaran yang salah kaprah. Di mana mereka tidak dapat dengan mudah menerima atau percaya begitu saja kalau seseorang pada hari sebelumnya adalah pemain judi, tetapi saat keesokan malamnya menjadi seorang Imam dalam suatu Majelis Zikir di Masjid maupun Musholla.
Norma tertulis
Norma tertulis adalah peraturan atau aturan main yang tampak jelas bentuk produk hukum(legalistas)-nya dan siapa pembuatnya, di antaranya yaitu;
- Negara berupa norma, aturan protokoler, undangundang, dan peraturan perundangundangan lainnya sebagai produk hukum negara, dan
- Agama atau syariat Agama, adalah berupa kaidah-kaidah yang diturunkan langsung oleh Allah Tuhan Yang Esa melalui para Nabi dan Rasul-Nya.
Bias perilaku
Perilaku menyimpang dalam konteks agama, secara ekstrem perilakunya diberikan stempel sebagai pendosa atau orang sesat, termasuk ajaran dan faham yang disiarkannya kepada masyarakat dianggap bertentangan dengan syariat maupun akidah agama disebut sebagai ajaran sesat.
Dalam beberapa bukunya, seperti yang tercamtum di bawah, Hery Santoso (HS Harding) banyak mengungkapkan contohcontoh kasus yang telah lama berkembang dan tersembunyi di dalam kehidupan seharihari, terutama tentang perilakuperilaku yang menyimpang di luar dari batas kelaziman dan normanorma yang berlaku di dalam masyarakat.
Penyimpangan Individualistik
Penyimpangan perilaku yang bersifat individual atau personal (pribadi) dan tidak menggeret pada seseorang, orang kedua, atau pihak lain di luar dirinya, dapat terjadi dikarenakan adanya pengaruh dari pengalaman di masa lalunya yang kebanyakan "kurang menyenangkan", hingga menumbuhkan rasa (sense) semacam "virus" yang keliru di dalam pandangan (persepsi dan interpretasi)nya.
Misalnya, perlakuan kasar yang kerap diterimanya di masa kecil (lampau) akan membentuk karakter yang tertanam kuat dalam ingatan hingga terbawa pada saat ia telah menginjak usia dewasa. Di mana orang itu akan berlaku "kasar" dalam urusan seks saat ia telah memasuki kehidupan berumah tangga. Tidak hanya sampai di situ saja, keadaan yang terbentuk pada dirinya akan terbawa pula dalam sifat menurun, bawaan, gnosis, kromosom dalam turunannya. Sehingga ada kemungkinan dapat timbul konflik dalam kehidupan domestik berumah tangganya, atau dikenal dengan konflik rumah tangga yang salah satunya terpicu oleh faktor perilaku menyimpang dalam seks pribadi orang tersebut.
PERILAKU MENYIMPANG
PENDAHULUAN
Salam jumpa! Kita bertemu
kembali dengan mata pelajaran Sosiologi. Bagaimana
keadaan Anda?
Baik-baik saja bukan? Semoga Anda selalu dalam keadaan sehat
walafiat!
Dengan demikian Anda bisa mulai belajar.
Pernahkah Anda sadari dalam
kehidupan ini pasti kita pernah berkawan atau
berteman? Dengan kata
lain kita mesti bermasyarakat? Dalam mata pelajaran
Sosiologi ini
kita akan mendapatkan pengetahuan untuk berkawan dengan baik
dan
menjadi anggota masyarakat yang menyadari akan kewajiban, hak, status
dan
peranan yang kita miliki.
Dalam bermasyarakat kita sering
menemukan suatu keadaan atau kondisi dimana
seseorang atau sekelompok
orang mulai tidak patuh pada aturan, tata tertib dan
mengabaikan
nilai dan norma. Itulah suatu keadaan atau kondisi yang disebut dengan
istilah
Penyimpangan Sosial.
Sebagai warga masyarakat sudah selayaknya kalau
kita punya niat untuk tidak
berbuat hal seperti itu dan mau berusaha
untuk turun tangan mengatasinya.
Kemampuan Anda untuk dapat
mengantisipasi dan mengatasi Penyimpangan Sosial
dalam masyarakat,
merupakan tujuan pencapaian hasil pembelajaran Anda dalam
Modul ini.
Modul
ini terbagi menjadi 3 kegiatan.
1. Kegiatan Belajar 1 : Pengertian
Penyimpangan Sosial.
2. Kegiatan Belajar 2 : Dampak Penyimpangan
Sosial.
3. Kegiatan Belajar 3 : Usaha Antisipasi dan Mengatasi
Penyimpangan Sosial.
Modul ini hendaknya dapat Anda selesaikan dalam
waktu 4 jam pelajaran atau 4 x
45 menit termasuk penyelesaian
tugas-tugasnya. Namun tidak tertutup kemungkinan
apabila Anda dapat
menyelesaikan kurang dari waktu tersebut. Pahamilah tujuan
sebelum
membaca uraian. Catat bagian-bagian yang belum paham sebagai bahan
diskusi
dengan teman, guru.
Pada akhir setiap kegiatan belajar Anda,
terdapat soal-soal latihan dan tugas yang
harus Anda kerjakan. Pada
akhir modul ini disediakan kunci jawaban. Pergunakan
kunci tersebut
setelah Anda selesai mengerjakan latihan dan tugas Anda. Diharapkan
Anda
mampu mengukur atau menilai sendiri kemajuan belajar Anda melalui kunci
jawaban
tersebut.
Dengan cara belajar berurutan, kegiatan demi kegiatan,
Anda pasti mampu
menguasai dengan baik semua materi pelajaran dalam
Modul ini. Apabila masih
kurang paham, bacalah kembali kalimat demi
kalimat lebih cermat dan penuh
konsentrasi. Bisa juga Anda melakukan
diskusi dengan teman atau bertanya pada
guru bina Anda, bilamana
menemukan kesulitan dalam memahami materi modul
ini. Bacaan-bacaan
lain yang menunjang seperti koran, majalah dan sebagainya
dapat pula
Anda gunakan untuk referensi Anda.
Selamat belajar, semoga Anda
sukses!
5
PENYIMPANGAN SOSIAL
Setelah mempelajari kegiatan
belajar 1 ini Anda diharapkan dapat:
1. menyimpulkan penyimpangan
sosial menurut beberapa ahli;
2. menjelaskan faktor-faktor
penyimpangan sosial;
3. mendefinisikan penyimpangan individual;
4.
mengkategorikan penyimpangan individual; dan
5. menguraikan
pengertian penyimpangan kolektif.
1. Pengertian Penyimpangan Sosial
Penyimpangan
sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak
sadar pernah kita
alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat
terjadi dimanapun
dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan
itu terjadi,
besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat
terganggunya
keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Suatu perilaku dianggap
menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain
penyimpangan
(deviation) adalah segala macam pola perilaku yang tidak berhasil
menyesuaikan
diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat.
Bagaimana, apakah
Anda dapat memahami?
Atau belum, marilah kita pelajari beberapa
definisi para ahli, untuk memperjelas
pengertian penyimpangan sosial.
Definisi-definisi
penyimpangan sosial:
a. James W. Van Der Zanden:
Penyimpangan
perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang
dianggap
sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.
b. Robert M. Z.
Lawang:
Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang
dari norma
yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha
dari mereka yang
berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki
perilaku menyimpang.
Kegiatan Belajar 1
6
c. Lemert (1951):
Penyimpangan
dibagi menjadi dua bentuk:
1). Penyimpangan Primer (Primary
Deviation)
Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si
pelaku masih
dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini
bersifat temporer atau
sementara, tidak dilakukan secara
berulang-ulang dan masih dapat
ditolerir oleh masyarakat.
Contohnya:
- menunggak iuran listrik, telepon, BTN dsb.
- melanggar rambu-rambu
lalu lintas.
- ngebut di jalanan.
2). Penyimpangan Sekunder
(secondary deviation)
Penyimpangan yang berupa perbuatan yang
dilakukan seseorang yang
secara umum dikenal sebagai perilaku
menyimpang. Pelaku didominasi
oleh tindakan menyimpang tersebut,
karena merupakan tindakan
pengulangan dari penyimpangan sebelumnya.
Penyimpangan ini tidak
bisa ditolerir oleh masyarakat.
Contohnya: -
pemabuk, pengguna obat-obatan terlarang.
- pemerkosa, pelacuran.
-
pembunuh, perampok, penjudi.
Untuk lebih memperjelas pengertian Anda
tentang Penyimpangan Sosial,
amatilah gambar berikut ini:
Gambar
1.
Perilaku menyimpang di
masyarakat
Dari gambar no. 1 s/d no. 5
diatas coba Anda jawab di kertas jawaban tersendiri,
mengapa
termasuk sebagai perilaku menyimpang. Diskusikan jawaban Anda
dengan
teman-temanmu!
Madat/candu/ngganja
Judi Pelacur/WTS Pencuri
Mabuk
7
2.
Faktor-faktor Penyimpangan Sosial
a. Menurut James W. Van Der Zanden
Faktor-faktor
penyimpangan sosial adalah sebagai berikut:
1). Longgar/tidaknya
nilai dan norma.
Ukuran perilaku menyimpang bukan pada ukuran baik
buruk atau benar
salah menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan
ukuran longgar
tidaknya norma dan nilai sosial suatu masyarakat.
Norma dan nilai sosial
masyarakat yang satu berbeda dengan norma dan
nilai sosial masyarakat
yang lain. Misalnya: kumpul kebo di Indonesia
dianggap penyimpangan,
di masyarakat barat merupakan hal yang biasa
dan wajar.
2). Sosialisasi yang tidak sempurna.
Di masyarakat
sering terjadi proses sosialisasi yang tidak sempurna,
sehingga
menimbulkan perilaku menyimpang. Contoh: di masyarakat
seorang
pemimpin idealnya bertindak sebagai panutan atau pedoman,
menjadi
teladan namun kadangkala terjadi pemimpin justru memberi
contoh yang
salah, seperti melakukan KKN. Karena masyarakat mentolerir
tindakan
tersebut maka terjadilah tindak perilaku menyimpang.
3). Sosialisasi
sub kebudayaan yang menyimpang.
Perilaku menyimpang terjadi pada
masyarakat yang memiliki nilai-nilai
sub kebudayaan yang menyimpang,
yaitu suatu kebudayaan khusus yang
normanya bertentangan dengan
norma-norma budaya yang dominan/
pada umumnya. Contoh: Masyarakat
yang tinggal di lingkungan kumuh,
masalah etika dan estetika kurang
diperhatikan, karena umumnya mereka
sibuk dengan usaha memenuhi
kebutuhan hidup yang pokok (makan),
sering cekcok, mengeluarkan
kata-kata kotor, buang sampah
sembarangan dsb. Hal itu oleh
masyarakat umum dianggap perilaku
menyimpang.
b. Menurut Casare
Lombroso
Perilaku menyimpang disebabkan oleh faktor-faktor:
1).
Biologis
Misalnya orang yang lahir sebagai pencopet atau pembangkang.
Ia
membuat penjelasan mengenai “si penjahat yang sejak lahir”.
Berdasarkan
ciri-ciri tertentu orang bisa diidentifikasi menjadi
penjahat atau tidak. Ciriciri
fisik tersebut antara lain: bentuk
muka, kedua alis yang menyambung
menjadi satu dan sebagainya.
2).
Psikologis
Menjelaskan sebab terjadinya penyimpangan ada kaitannya
dengan
kepribadian retak atau kepribadian yang memiliki kecenderungan
untuk
melakukan penyimpangan. Dapat juga karena pengalaman traumatis
yang
dialami seseorang.
8
3). Sosiologis
Menjelaskan sebab
terjadinya perilaku menyimpang ada kaitannya dengan
sosialisasi yang
kurang tepat. Individu tidak dapat menyerap norma-norma
kultural
budayanya atau individu yang menyimpang harus belajar
bagaimana
melakukan penyimpangan.
3. Penyimpangan Individual (Individual
Deviation)
Penyimpangan individual merupakan penyimpangan yang
dilakukan oleh
seseorang yang berupa pelanggaran terhadap norma-norma
suatu kebudayaan
yang telah mapan. Penyimpangan ini disebabkan oleh
kelainan jiwa seseorang
atau karena perilaku yang jahat/tindak
kriminalitas.
Penyimpangan yang bersifat individual sesuai dengan
kadar penyimpangannya
dapat dibagi menjadi beberapa hal, antara lain:
a.
Tidak patuh nasihat orang tua agar mengubah pendirian yang kurang baik,
penyimpangannya
disebut pembandel.
b. Tidak taat kepada peringatan orang-orang yang
berwenang di lingkungannya,
penyimpangannya disebut pembangkang.
c.
Melanggar norma-norma umum yang berlaku, penyimpangannya disebut
pelanggar.
d.
Mengabaikan norma-norma umum, menimbulkan rasa tidak aman/tertib,
kerugian
harta benda atau jiwa di lingkungannya, penyimpangannya disebut
perusuh
atau penjahat.
Apakah Anda pernah melakukan penyimpangan individual?
Semoga tidak!
Namun kadangkala karena kekhilafan kita sebagai
manusia biasa penyimpangan
individual itu pernah kita lakukan.
Bagaimana kalau hal itu terjadi? Tentu Anda
akan minta maaf pada
lingkungan Anda dan berjanji untuk tidak mengulangi
kembali perbuatan
itu, bukan?
Marilah kita lanjutkan kembali belajarnya!
4.
Kategori Penyimpangan Individual
Yang termasuk dalam tindak
penyimpangan individual antara lain:
a. Penyalahgunaan narkoba
Merupakan
bentuk penyelewengan terhadap nilai, norma sosial dan agama.
Contoh
pemakaian obat terlarang/narkoba antara lain:
- Narkotika (candu,
ganja, putau)
- Psikotropika (ectassy, magadon, amphetamin)
-
Alkoholisme.
b. Proses sosialisasi yang tidak sempurna.
Apabila
seseorang dalam kehidupannya mengalami sosialisasi yang tidak
sempurna,
maka akan muncul penyimpangan pada perilakunya.
Contohnya: seseorang
menjadi pencuri karena terbentuk oleh lingkungannya
yang banyak
melakukan tidak ketidakjujuran, pelanggaran, pencurian dan
sebagainya.
9
c.
Pelacuran
Pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan
menyerahkan diri kepada
umum untuk dapat melakukan perbuatan sexual
dengan mendapatkan upah.
Pelacuran lebih disebabkan oleh tidak
masaknya jiwa seseorang atau pola
kepribadiannya yang tidak seimbang.
Contoh: seseorang menjadi pelacur
karena mengalami masalah (ekonomi,
keluarga dsb.)
Gambar 2.
Obat-obatan psikotropika
d.
Penyimpangan seksual
Adalah perilaku seksual yang tidak lazim
dilakukan seseorang. Beberapa
jenis penyimpangan seksual:
-
Lesbianisme dan Homosexual
- Sodomi
- Transvestitisme
- Sadisme
-
Pedophilia
- Perzinahan
- Kumpul kebo
e. Tindak
kejahatan/kriminal
Tindakan yang bertentangan dengan norma hukum,
sosial dan agama. Yang
termasuk ke dalam tindak kriminal antara lain:
pencurian, penipuan,
penganiayaan, pembunuhan, perampokan dan
pemerkosaan.
f. Gaya hidup
Penyimpangan dalam bentuk gaya hidup
yang lain dari perilaku umum atau
biasanya. Penyimpangan ini antara
lain:
- Sikap arogansi
Kesombongan terhadap sesuatu yang
dimilikinya seperti kepandaian,
kekuasaan, kekayaan dsb.
10
-
Sikap eksentrik
Perbuatan yang menyimpang dari biasanya, sehingga
dianggap aneh,
misalnya laki-laki beranting di telinga, rambut
gondrong dsb.
Bagaimana, apakah Anda telah paham seluruh kategori
penyimpangan
individual? Semoga. Namun bila ada yang sulit catatlah
hal-hal yang belum Anda
pahami tersebut sebagai bahan diskusi atau
pertanyaan pada saat tatap muka.
Dengan demikian kita bisa
melanjutkan belajarnya dengan bahasan
penyimpangan kolektif berikut
ini:
5. Penyimpangan Kolektif (Group Deviation)
Penyimpangan
kolektif yaitu: penyimpangan yang dilakukan secara bersamasama
atau
secara berkelompok.
Penyimpangan ini dilakukan oleh sekelompok orang
yang beraksi secara
bersama-sama (kolektif). Mereka patuh pada norma
kelompoknya yang kuat dan
biasanya bertentangan dengan norma
masyarakat yang berlaku. Penyimpangan
yang dilakukan kelompok,
umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan/teman.
Kesatuan dan
persatuan dalam kelompok dapat memaksa seseorang ikut dalam
kejahatan
kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya.
Penyimpangan
yang dilakukan secara kelompok/kolektif antara lain:
a. Kenakalan
remaja
Karena keinginan membuktikan keberanian dalam melakukan
hal-hal yang
dianggap bergengsi, sekelompok orang melakukan
tindakan-tindakan
menyerempet bahaya, misalnya kebut-kebutan,
membentuk geng-geng yang
membuat onar dsb.
b. Tawuran/perkelahian
pelajar
Perkelahian antar pelajar termasuk jenis kenakalan remaja
yang pada
umumnya terjadi di kota-kota besar sebagai akibat
kompleknya kehidupan di
kota besar. Demikian juga tawuran yang
terjadi antar kelompok/etnis/warga
yang akhir-akhir ini sering
muncul. Tujuan perkelahian bukan untuk mencapai
nilai yang positif,
melainkan sekedar untuk balas dendam atau pamer
kekuatan/unjuk
kemampuan.
KENAKALAN REMAJA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG HUBUNGANNYA DENGAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL KELUARGA
Kasus Di Pondok Pinang Pinggiran Kota Metropolitan Jakarta
Masngudin HMS
Abstrak
Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual, individu sebagai satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk pendekatan sistem, individu sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem sebagai sumber masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ternyata ada hubungan negative antara kenakalan remaja dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin meningkatnya keberfungsian sosial sebuah keluarga dalam melaksanakan tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah tingkat kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah. Di samping itu penggunaan waktu luang yang tidak terarah merupakan sebab yang sangat dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku menyimpang.
I. PENDAHULUAN
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan remaja (Kauffman , 1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan” dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil. Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Pondok Pinang Jakarta Selatan tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan tindakan kriminal.
Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan wajar.
II. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengidentifkasi dan memberikan gambaran bentuk-bentuk kenakalan yang dilakukan remaja di pinggiran kota metropolitan Jakarta, yaitu di kelurahan
Pondok Pinang.
2. Untuk mengetahui hubungaanan aaantara kenakalan remaja dengan keberfungsian sosial keluarga
3. Penelitian ini ingin memberikan sumbangan bagi pemecahan masalah kenakalan remaja dengan memanfaatkan keluarga sebagai basis dalam pemecahan masalah.
III. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pemilihan metode ini karena penelitian yang dilakukan ingin mempelajari masalah-masalah dalam suatu masyarakat, juga hubungan antar fenomena, dan membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian yang ada.
Cara pemilihan sampel yang dilakukan pertama memilih wilayah yang mempunyai kategori miskin, dengan cara melihat kondisi mereka yang perumahannya di bawah standar, dengan kondisi penduduk yang sangat padat, lingkungan yang tidak teratur dan perkiraan tingkat kesehatan masyarakatnya yang buruk. Setelah itu konsultasi dengan ketua RW dan ketua-ketua RT untuk mencari informasi tentang warganya yang dianggap telah melakukan kenakalan, dengan perspektif labeling. Dari informasi tersebut data pada tiga RT. Berdasarkan data tersebut kita jadikan populasi dengan jumlah 40 remaja dan keluarga yang akan dijadikan unit dalam analisis. Dari jumlah tersebut dibuat listing dan tiap RT diambil 10 sampel (remaja dan keluarga) sehingga mendapat 30 responden. Pengambilan sample ini dengan cara random.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dipandu dengan daftar pertanyaan.
Responden remaja dalam penelitian ini ditentukan bagi mereka yang berusia 13 tahun-21 tahun. Mengingat pengertian anak dalam Undang-undang no 4 tahun 1979 anak adalah mereka yang berumur sampai 21 tahun. Dengan pertimbangan pada usia tersebut, terdapat berbagai masalah dan krisis diantaranya; krisis identitas, kecanduan narkotik, kenakalan, tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah, konflik mental dan terlibat kejahatan (lihat transaksi individu-individu dan keluarga-keluarga dengan sistem kesejahteraan sosial).
IV. KERANGKA KONSEP
- Konsep Kenakalan Remaja
Pada dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam masyarakatnya. Kartini Kartono (1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan”. Dalam Bakolak inpres no: 6 / 1977 buku pedoman 8, dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku / tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Singgih D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu : (1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; (1) kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit (2) kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin (3) kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll. Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian.
Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985 : 73). Bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat.
- Keberfungsian sosial
Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya. Juga dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantarannya jika suatu keluarga mampu melaksanakan tugas-tugasnya, menurut (Achlis, 1992) keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi social tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan dalam mewujudkan nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.
Keberfungsian sosial kelurga mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi resprokal antara keluarga dengan anggotannya, dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi social secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.
V. HASIL PENELITAN
A. Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Responden
Berdasarkan data di lapangan dapat disajikan hasil penelitian tentang kenakalan remaja sebagai salah satu perilaku menyimpang hubungannya dengan keberfungsian sosial keluarga di Pondok Pinang pinggiran kota metropolitan Jakarta. Adapun ukuran yang digunakan untuk mengetahui kenakalan seperti yang disebutkan dalam kerangka konsep yaitu (1) kenakalan biasa (2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan dan (3) Kenakalan Khusus. Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 responden, dengan jenis kelamin laki-laki 27 responden, dan perempuan 3 responden. Mereka berumur antara 13 tahun-21 tahun. Terbanyak mereka yang berumur antara 18 tahun-21 tahun.
Bentuk Kenakalan Remaja Yang Dilakukan Responden (n=30)
Bentuk Kenakalan |
f |
% |
1. Berbohong 2. Pergi keluar rumah tanpa pamit 3. Keluyuran 4. Begadang 5. membolos sekolah 6. Berkelahi dengan teman 7. Berkelahi antar sekolah 8. Buang sampah sembarangan 9. membaca buku porno 10. melihat gambar porno 11. menontin film porno 12. Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM 13. Kebut-kebutan/mengebut 14. Minum-minuman keras 15. Kumpul kebo 16. Hubungan sex diluar nikah 17. Mencuri 18. Mencopet 19. Menodong 20. Menggugurkan Kandungan 21. Memperkosa 22. Berjudi 23. Menyalahgunakan narkotika 24. Membunuh |
30 30 28 26 7 17 2 10 5 7 5 21 19 25 5 12 14 8 3 2 1 10 22 1 |
100 100 93,3 98,7 23,3 56,7 6,7 33,3 16,7 23,3 16,7 70,0 63,3 83,3 16,7 40,0 46,7 26,7 10,0 6,7 3,3 33,3 73,3 3,3 |
Bahwa seluruh responden pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan biasa seperti berbohong, pergi ke luar rumah tanpa pamit pada orang tuanya, keluyuran, berkelahi dengan teman, membuang sampah sembarangan dan jenis kenakalan biasa lainnya. Pada tingkat kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, mencuri,minum-minuman keras, juga cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan pada kenakalan khususpun banyak dilakukan oleh responden seperti hubungan seks di luar nikah, menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta menggugurkan kandungan walaupun kecil persentasenya. Terdapat cukup banyak dari mereka yangkumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup memprihatinkan. Kalau hal ini tidak segera ditanggulangi akan membahayakan baik bagi pelaku, keluarga, maupun masyarakat. Karena dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari yang semakin kompleks.
B. Hubungan Antara Variabel Independen dan Dependen
- Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan
Salah satu hubungan variabel yang disajikan disini adalah hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan. Hal ini untuk mengetahui apakah anak laki-laki lebih nakal dari anak perempuan atau probalitasnya sama. Berdasarkan tabel hubungan diperoleh data sebagai berikut; Anak laki-laki yang melakukan kenakalan biasa 3 responden (10%), kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan 2 responden, dan kenakalan khusus 22 responden (73,3%). Sedangkan anak perempuan yang melakukan kenakalan biasa 2 responden (2,7%) dan kenakalan khusus 1 responden (3,3%). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar yang melakukan kenakalan khusus adalah anak laki-laki (73,3%), namun terdapat juga anak perempuannya. Kalau dibandingkan diantara 27 responden anak laki-laki 22 responden (81,5%) diantaranya melakukan kenakalan khusus, sedangkan dari 3 responden perempuan 1 responden (33,3%) yang melakukan kenakalan khusus, berarti probababilitas anak laki-laki lebih besar kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus. Demikian juga yang melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, anak perempuan tidak ada yang melakukannya. Dengan demikian maka anak laki-laki kecenderungannya akan melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan lebih dibandingkan dengan anak perempuan.
- Hubungan antara pekerjaan responden dengan tingkat kenakalan yang dilakukan
Berdasarkan data yang ada, pekerjaan responden adalah sebagai pelajar dan tidak bekerja (menganggur) masing-masing 13 responden (43,3%), sebagai buruh dan berdagang masing-masing 2 responden (6,7%). Dari tabel korelasi persebaran datanya sebagai berikut; Pelajar yang melakukan kenakalan biasa 5 responden (16,7%), kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan 2 responden (6,7%), dan kenakalan khusus 6 responden (20%) . Sedangkan mereka yang tidak bekerja (menganggur) semuanya 13 responden melakukan kenakalan khusus, juga mereka yang bekerja sebagai pedagang dan buruh semuanya melakukan kenakalan khusus. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kecenderungan untuk melakukan kenakalan khusus ataupun jenis kenakalan lainnya adalah mereka yang tidak sibuk, atau banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif.
2. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan
Seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah melakukan kenakalan. Sebab dengan pendidikan yang semakin tinggi, nalarnya semakin baik. Artinya mereka tahu aturan-aturan ataupun norma sosial mana yang seharusnya tidak boleh dilanggar. Atau mereka tahu rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang harus dikerjakan. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Mereka yang tamat SLTA justru yang paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%) yang berarti separoh lebih, dengan terbanyak 12 responden (40%) melakukan kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%) melakukan kenakalan biasa. Demikian juga mereka yang pendidikan terakhirnya SLTP, dari 12 responden, 11 responden (36,7%) melakukan kenakalan khusus. Sedang mereka yang hanya tamat SD 1 responden juga melakukan kenakalan khusus. Dengan demikian maka tidak ada hubungan antara tingkatan pendidikan dengan kenakalan yang dilakukan, artinya semakin tinggi pendidikannya tidak bisa dijamin untuk tidak melakukan kenakalan. Artinya di lokasi penelitian kenakalan remaja yang dilakukan bukan karena rendahnya tingkat pendidikan mereka, karena disemua tingkat pendidikan dari SD sampai dengan SLTA proporsi untuk melakukan kenakalan sama kesempatannya. Dengan demikian faktor yang kuat adalah seperti yang disebutkan di atas, yaitu adanya waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif, dan adanya pengaruh buruk dalam sosialisasi dengan teman bermainnya atau faktor lingkungan sosial yang besar pengaruhnya.
C. Hubungan Antara Kenakalan Remaja Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga
Dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga, diantaranya adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.
1. Hubungan antara pekerjaan orang tuanya dengan tingkat kenakalan
Untuk mengetahui apakah kenakalan juga ada hubungannya dengan pekerjaan orangtuanya, artinya tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan data yang ada mereka yang pekerjaan oangtuanya sebagai pegawai negeri 5 responden (16,7%), berdagang 4 responden (13,3%), buruh 5 responden (16,6%), tukang kayu 2 responden (6,7%), montir/sopir 6 responden (20%), wiraswasta 5 responden (16,6%), dan pensiunan 1 responden (3,3%).
7
Dari tabel korelasi diketahui bahwa kecenderungan anak pegawai negeri walaupun melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain halnya bagi mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh, montir/sopir, dan wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan khusus. Hal ini berarti pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Keadan yang demikian karena mungkin bagi pegawai negeri lebih memperhatikan anaknya untuk mencapai masa depan yang lebih baik, ataupun kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-nilai yang disosisalisasikan lebih efektif. Sedang bagi mereka yang bukan pegawai negeri hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.
2. Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan
Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga
.
Dilihat dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga utuh, dan 9 responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel korelasi ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan kenakalan khusus.
Namun jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa mereka yang melakukan kenakalan khusus berasal dari keluarga yang interaksinya kurang dan tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu diketahui bahwa keluarga yang interaksinya serasi berjumlah 3 responden (10%), sedangkan yang interaksinya kurang serasi 14 responden (46,7%), dan yang tidak serasi 13 responden (43,3%). Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus.
3. Hubungan antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat kenakalan
Kehidupan beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama. Berdasarkan data yang ada mereka yang keluarganya taat beragama 6 responden (20%), kurang taat beragama 15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9 responden (30%). Dari tabel korelasi diketahui 70% dari responden yang keluarganya kurang dan tidak taat beragama melakukan kenakalan khusus.
Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.
4. Hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan
Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari tabel korelasi diperoleh data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus. Dari kenyataan tersebut ternyata peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak.
5. Hubungan antara interaksi keluarga dengan lingkungannya dengan tingkat kenakalan
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan lingkungan sosialnya berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden (40%), dan tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat dilihat dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus 19 responden dari dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.
6. Pernah tidaknya responden ditahan dan dihukum hubungannya dengan keutuhan struktur dan interaksi keluarga, serta ketaatan keluarga dalam menjalankan kewajiban beragama
Data tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden, dari jumlah tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-masing 1 responden (6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan, 5 responden (33,3%) karena kasus obat terlarang (narkotika) dan 8 responden (53,3%) karena kasus pencurian.
Sedangkan responden yang pernah dihukum penjara berjumlah 10 responden dengan rincian 7 responden karena kasus pencurian, masing-masing 1 responden karena ksus pengeroyokan, pembunuhan, dan narkotika. Adapun lamanya mereka dihukum antara 1 bulan-3 tahun, dengan rincian sebagai berikut 4 responden (40%) dihukum penjara selama 1 bulan, 3 responden (30%) dihukum 3 bulan, masing-masing 1 responden (10%) dihukum 7 bulan, 2 tahun, dan 3 tahun . Dari responden yang pernah ditahan dan di hukum semuanya dari keluarga yang struktur keluarganya utuh, tetapi interaksinya kurang dan tidak serasi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah interaksi dalam keluarga merupakan sebab utama seorang remaja sampai ditahan dan dihukum penjara. Sedangkan dari sudut ketaatan dalam menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya masih terdapat 1 responden yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus pencurian. Artinya bahwa ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin anaknya bebas dari kenakalan dan ditahan serta dihukum.
D. Analisis Hubungan Antara Keberfungsian Sosial Keluarga dengan Kenakalan
Remaja
Setelah dianalisis secara bivariat antara beberapa variabel, maka untuk melengkapinya dianalisis secara statistik dengan rumus product moment guna melihat keeratan hubungan tersebut. Berdasarkan tabel distribusi koefisiensi korelasi product moment diperoleh data sebagai berikut; nilai x = 510 y = 322 x2 = 9.010 y2 = 3.752 xy = 5.283 hasil perhitungan yang diperoleh = - 0,6022. Sedang nilai r yang diperoleh dalam tabel dengan taraf significansi 5%, dengan sampel 30 adalah 0,361 Berdasarkan data tersebut karena nilai r yang diperoleh dari hasil penelitian jauh dari batas significansi nilai r yang diperolehnya berarti ada hubungan negative antara keberfungsian keluarga dengan kenakalan remaja yang dilakukan. Artinya semakin tinggi tingkat berfungsi sosial keluarga, akan semakin rendah tingkat kenakalan remajanya, demikian sebaliknya semakin rendah keberfungsian sosial keluarga maka akan semakin tinggi tingkat kenakalan remajanya.
Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa secara jenis kelamin terlihat remja pria lebih cenderung melakukan kenakalan pada tinglat khusus, walaupun demilikan juga remaja perempuan yang melakukan kenakalan khusus. Dari sudut pekerjaan atau kegiatan sehari-hari remaja ternyata yang menganggur mempunyai kecenderungan tinggi melakukan kenakalan khusus demikian juga mereka yang berdagang dan menjadi buruh juga tinggi kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus. Pemenuhan kebutuhan keluarga juga berpengaruh pada tingkat kenakalan remajanya, artinya bagi keluarga yang tiap hari hanya berpikir untuk memenuhi kebutuhan keluarganya seperti yang orang tuanya bekerja sebagai buruh, tukang, supir dan sejenisnya ternyata anaknya kebanyakan melakukan kenakalan khusus. Demilian juga bagi keluarga yang interaksi sosialnya kurang dan tidak serasi anak-anaknya melakukan kenakalan khusus. Kehidupan beragama keluarga juga berpengaruh kepada tingkat kenakalan remajanya, artinya dari keluarga yang taat menjalankan agama anak-anaknya hanya melakukan kenakalan biasa, tetapi bagi keluarga yang kurang dan tidak taat menjalankan ibadahnya anak-anak mereka pada umumnya melakukan kenakalan khusus.Hal lain yang dapat dilihat bahwa sikap orang orang tua dalam sosialisasi terhadap anaknya juga sangat berpengaruh terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan, dari data yang diperoleh bagi keluarga yang kurang dan masa bodoh dalam pendidikan (baca sosialisasi) terhadap anaknya maka umumnya anak mereka melakukan kenakalan khusus. Dan akhirnya keserasian hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya juga berpengaruh pada kenakalan anak-anak mereka. Mereka yang hubungan sosialnya dengan lingkungan serasi anak-anaknya walaupun melakukan kenakalan tetapi pada tingkat kenakalan biasa, tetapi mereka yang kurang dan tidak serasi hubungan sosialnya dengan lingkungan anak-anaknya melakukan kenakalan khusus.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di atas, ditemukan bahwa remaja yang memiliki waktu luang banyak seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih pelajar kemungkinannya lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku menyimpang. Demikian juga dari keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya rendah maka kemungkinan besar anaknya akan melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat.Sebaliknya bagi keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya tinggi maka kemungkinan anak-anaknya melakukan kenakalan sangat kecil, apalagi kenakalan khusus. Dari analisis statistik (kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik kesimpulan umum bahwa ada hubungan negatif antara keberfungsian sosial keluarga dengan kenakalan remaja, artinya bahwa semakin tinggi keberfungsian social keluarga akan semakin rendah kenakalan yang dilakukan oleh remaja. Sebaliknya semakin ketidak berfungsian sosial suatu keluarga maka semakin tinggi tingkat kenakalan remajanya (perilaku menyimpang yang dilakukanoleh remaja. Berdasarkan kenyataan di atas, maka untuk memperkecil tingkat kenakalan remaja ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan keberfungsian sosial keluarga melalui program-program kesejahteraan sosial yang berorientasi pada keluarga dan pembangunan social yang programnya sangat berguna bagi pengembangan masyarakat secara keseluuruhan Di samping itu untuk memperkecil perilaku menyimpang remaja dengan memberikan program-program untuk mengisi waktu luang, dengan meningkatkan program di tiap karang taruna. Program ini terutama diarahkan pada peningkatan sumber daya manusianya yaitu program pelatihan yang mampu bersaing dalam pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan.
Masngudin
HMS, adalah peneliti pada Puslitbang UKS, Badan Latbang Sosial
Departemen Sosial
Daftar Pustaka
Achlis, 1992, Praktek Pekerjaan Sosial I, STKS , Bandung
Eitzen, Stanlen D, 1986, Social Problems, Allyn and Bacon inc, Boston, Sydney, Toronto
Gunarsa Singgih D at al, 1988, Psikologi Remaja, BPK Gunung Mulya, Jakarta
Kartini Kartono,1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Rajawali, Jakarta
Kaufman, James, M, 1989, Characteristics of Behaviour Disorders of Children and Youth, Merril Publishing Company, Columbus, London, Toronto
Nazir, Moh, 1985, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
Sartono, Suwarniyati, 1985, Pengukuran Sikap Masyarakat terhadap Kenakalan Remaja di DKI Jakarta, laporan penelitian, UI, Jakarta
Soerjono Soekanto, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta
_______________, 1985 Perubahan Sosial, Rajawali, Jakarta