iwangeodrs alumni geografi ikip bandung angkatan 1981

FILOSOFI DAN METODE PENELITIAN SOSIAL
A. FILOSOFI PENELITIAN SOSIAL
Setiap kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan selalu berlandaskan
filosofi Hakikat filosofi adalah kebenaran yang diperoleh melalui berpikir logis,
sistematis, metodis. Kebenaran adalah kenyataan apa adanya yang sesuai
dengan logika sehat. Kebenaran juga sekaligus menjadi tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan karena bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Berpikir logis
adalah berpikir secara bernalar menurut logika yang diakui ilmu pengetahuan
dengan bebas sedalam-dalamnya sampai ke dasar permasalahan guna mengungkapkan
kebenaran. Sistematis adalah berpikir dan berbuat yang bersistem,
yaitu runtun, berurutan, tidak tumpang tindih. Metodis adalah berpikir dan
berbuat menurut metode tertentu yang kebenarannya diakui menurut penalaran.
Penelitian sosial merupakan proses kegiatan mengungkapkan secara
logis, sistematis, dan metodis gejala sosial yang terjadi di sekitar kita untuk
direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat dan ilmu pengetahuan. Kebenaran dimaksud adalah keteraturan
yang menciptakan keamanan, ketertiban, keseimbangan, dan kesejahteraan
masyarakat.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat
memerlukan peningkatan kemampuan meneliti bagi dosen ilmu-ilmu sosial.
Kemampuan meneliti tersebut terutama diarahkan kepada tiga manfaat, yaitu:
1. Pengembangan institusi, dilaksanakan melalui kegiatan penelitian sosial yang
dilakukan oleh dosen yunior.
2. Inovasi dan pengembangan ilmu pengetahuan (dan teknologi), dilaksanakan
melalui kegiatan penelitian sosial yang dilakukan oleh dosen senior.
3. Pemecahan masalah, dilaksanakan melalui kegiatan penelitian sosial yang
dilakukan secara kerja sama dengan berbagai instansi pemerintah, swasta
dan industri.
Filosofi penelitian sosial mendasari kegiatan ilmiah yang berupaya mencari
kebenaran hakiki dari setiap gejala sosial yang ada. Sebagaimana dikemukakan
oleh Theo Huijbers, filosofi adalah kegiatan intelektual yang metodis dan
sistematis, secara refleksi menangkap makna yang hakiki dari keseluruhan yang
ada. Objek filosofi bersifat universal mencakup segala yang dialami manusia.
Berpikir filosofi adalah mencari arti yang sebenarnya dari segala hal yang ada
melalui pandangan cakrawala paling luas. Metode pemikiran filosofi adalah
refleksi atas pengalaman dan pengertian tentang suatu hal dalam cakrawala
yang universal. Pengolahan pikirannya secara metodis dan sistematis.Tujuannya
adalah kebenaran yang menyejahterakan masyarakat. 1
Berasarkan pandangan tersebut, maka dapat dirinci unsur-unsur penting
filosofi yang mendasari penelitian sosial sebagai kegiatan ilmiah, yaitu:
1 Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hlm. 15
2
1. kegiatan intelektual (pemikiran);
2. mencari makna yang hakiki (interpretasi);
3. segala fakta dan gejala (objek);
4. dengan cara refleksi, metodis, sistematis (metode);
5. untuk kebahagiaan masyarakat (tujuan).
Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian sosial juga memiliki ciri-ciri sebagaimana
dijelaskan oleh Soedjono Dirdjosisworo sebagai berikut:
1. Sistematis artinya bahasan tersusun secara teratur, berurutan menurut
sistem.
2. Logis artinya sesuai dengan logika, masuk akal, benar menurut penanalaran
3. Empiris artinya diperoleh dari pengalaman, penemuan, pengamatan.
4. Metodis artinya berdasarkan metode yang kebenarannya diakui oleh
penalaran.
5. Umum artinya menggeneralisasi, meliputi keseluruhan tidak menyangkut
yang khusus saja.
6. Akumulatif artinya bertambah terus, makin berkembang, dinamis. 2
Penelitian sosial sebagai kegiatan ilmiah dilakukan terus-menerus guna
mengungkapkan kebenaran sesungguhnya dari objek yang diteliti. Kebenaran
yang sesungguhnya itu bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Kebenaran
objek yang diteliti menjadi dasar keteraturan yang menciptakan keamanan,
ketertiban, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Harsja Bachtiar mengemukakan dua kategori keteraturan dari objek yang
diteliti, yaitu:
1. Keteraturan alam semesta selalu berkualitas 100% benar karena keteraturan
itu tetap, tidak berubah, sehingga metode penelitiannya pun tepat. Ini
terdapat pada ilmu-ilmu eksakta, seperti astronomi, fisika, kimia, biologi,
kedokteran.
2. Keteraturan hubungan antarmanusia dalam hidup bermasyarakat. Untuk
mengungkapkan kebenaran keteraturan tersebut dipinjam metode penelitian
ilmu eksakta, ternyata hasil penelitiannya tidak selalu 100% benar, melainkan
hanya mendekati kebenaran karena keteraturan dalam hubungan hidup
bermasyarakat itu dapat berubah dari saat ke saat sesuai dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat. Ini terdapat pada ilmu-ilmu sosial, seperti
ekonomi, hukum, politik, sosiologi, demografi. 3
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa perkembangan
ilmu sosial selalu dilandasi oleh kebenaran yang relatif, keteraturan yang selalu
berubah-ubah dari waktu ke waktu, ketidakpuasan terhadap keadaan yang ada,
keingintahuan terus-menerus, yang ditelaah bukan kuantitas, melainkan kualitas
dari gejala sosial yang ada (terjadi).
2 Soedjono Dirdjosisworo. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Rajawali. Jakarta. Hlm. 5
3 Harsja Bachtiar. 1981. Penggolongan Ilmu Pengetahuan. Depdikbud. Jakarta.
3
B. DASAR PENELITIAN SOSIAL
1. Keingintahuan
Karena masyarakat itu berkembang, maka ilmu sosial juga berkembang,
namun perkembangan tersebut tidak dapat diketahui secara pasti sebagai hal
yang baru. Oleh sebab itu, lalu dilakukan upaya tertentu untuk memperoleh
pengetahuan baru. Apa yang mendorong orang sehingga berkehendak memperoleh
pengetahuan baru tentang gejala sosial? Faktor pendorong tersebut adalah
keingintahuan (curiousity). Keingintahuan itu muncul karena ketidakpuasan
terhadap gejala sosial yang ada. Untuk memperoleh jawaban dari keingintahuan
tersebut, orang perlu melakukan kegiatan yang menggunakan metode yang
diakui secara keilmuan. Kegiatan yang dimaksud disebut penelitian sosial.
Penelitian adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris research yang
terdiri dari re artinya ulang dan search artinya mencari. Jadi, research atau
penelitian itu adalah kegiatan mencari ulang, mengungkapkan kembali gejala,
kenyataan yang sudah ada untuk direkonstruksi dan diberi arti guna memperoleh
kebenaran yang dimasalahkan. Ungkapan kembali itu didasari oleh keingintahuan
tentang keadaan gejala sosial yang dijadikan masalah, misalnya:
a. Maraknya prostitusi dalam masyarakat perkotaan di Indonesia kini akibat
pengaruh kesulitan ekonomi. Informasi gejala sosial: Indonesia menduduki
urutan kedua bisnis prostitusi dengan omzet penghasilan rata-rata per tahun
Rp11 triliun. Gejala pendukung: di tempat hiburan malam, di hotel-hotel, di
panti pijat, ada PSK walaupun tersembunyi.
b. Maraknya perjudian dalam masyarakat kini akibat lemahnya pengawasan dan
penegakan hukum oleh pemerintah. Informasi gejala social: Jakarta adalah
salah satu kota besar bisnis perjudian dengan omzet penghasilan rata-rata
per tahun Rp40 triliun. Gejala pendukung: di pusat-pusat hiburan, di media
elektronik, di hotel-hotel, ada pertaruhan dengan menggunakan uang,
menonton sepaka bola menggunakan taruhan uang dari jumlah kecil hingga
jumlah besar.
c. Semrawutnya lalu lintas di kota Bandar Lampung akibat rendahnya kesadaran
hukum pengemudi angkot. Informasi gejala sosial: jalan raya dijadikan
tempat parkir kendaraan bermotor, tempat dagang kaki lima, tempat dagang
asongan, jumlah angkot makin bertambah setiap tahun.
d. Makin tinggi tingkat kesejahteraan keluarga, makin rendah tingkat perilaku
menyimpang oleh anggota keluarga yang bersangkutan. Informasi gejala
social: Di kalangan masyarakat kaya (the haves) justru banyak terjadi mabukmabukan,
prostitusi, narkoba. Di kalangan selebritis justru banyak terjadi
kehancuran rumah tangga perceraian suami isteri (broken home).
e. Merajalelanya korupsi di kalangan pejabat negara akibat lemahnya sistem
pengawasan dan penegakan hukum. Informasi gejala sosial: pejabat korup
cenderung bebas dari tuntutan hukum atau memperoleh hukuman lebih
ringan. Pejabat korup sulit diberhentikan dari pegawai negeri sipil (PNS).
Karena penelitian itu menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat, maka
disebut penelitian sosial.
4
Penelitian sosial menggunakan metode ilmiah yang sesuai dengan bidang
ilmu sosial yang diteliti. Untuk itu mutlak diperlukan penguasaan ilmu sosial yang
bersangkutan dengan baik. Misalnya, penelitian bidang hukum, ekonomi,
sosiologi, psikologi, antropoligi sosial harus didukung oleh penguasaan dengan
baik bidang ilmu yang bersangkutan. Ilmu adalah produk dari proses berpikir
logis yang didukung oleh fakta empiris. Penguasaan ilmu sosial dengan baik
merupakan modal dasar melakukan penelitian sosial guna memperoleh pengetahuan
atau temuan baru di bidang ilmu sosial.
2. Proses Berpikir Logis
Dalam kegiatan penelitian sosial dikenal dua proses berpikir, yaitu proses
berpikir logis dan proses berpikir kausalitas. Proses berpikir logis dibedakan lagi
menjadi proses berpikir induktif dan proses berpikir deduktif. Kedua proses
berpikir tersebut dijelaskan dengan contoh-contoh dalam uraian berikut.
a. Proses berpikir induktif
Proses berpikir Induktif adalah suatu proses berpikir untuk menarik suatu
kesimpulan yang bersifat umum dari kasus yang bersifat khusus (individual).
Proses berpikir induktif dimulai dari pernyataan-pernyataan yang mempunyai
ruang lingkup yang khas dan terbatas, yang diakhiri dengan pernyataan yang
bersifat umum. Pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir induktif
merupakan esensi dari fakta-fakta yang dikumpulkan.
Contoh:
Berdasarkan statistik tahun 2001 di Kabupaten Lampung Selatan tingkat
pendapatan penduduk umumnya rendah, sehingga sedikit jumlah penduduk
yang mampu membayar premi asuransi jiwa. Demikian juga di Kabupaten
Lampung Timur dan Kabupaten Way Kanan terdapat kondisi yang sama dengan
Kabupaten Lampung Selatan. Tetapi di Kota Bandar Lampung yang pendapatan
per kapita cukup tinggi, sebagian besar penduduk mengadakan asuransi jiwa.
Oleh karena itu, di setiap kabupaten yang tingkat pendapatan penduduknya
rendah, asuransi jiwa sulit berkembang.
Proses berpikir induktif memungkinkan penyusunan pengetahuan secara
sistematis, yang mengarah kepada beberapa pernyataan yang bersifat
fundamental. Suatu pengetahuan harus diyakini kebenarannya melalui dua tahap
keyakinan, yaitu keyakinan karena tahu (know) dan keyakinan karena
pengalaman (empirical). Keyakinan karena tahu merupakan dasar merumuskan
masalah yang diteliti seperti dalam contoh tadi: “Faktor-faktor apakah yang
menjadi penyebab sulitnya asuransi jiwa berkembang di beberapa kabupaten
dalam Provinsi Lampung”. Untuk mengetahui hal tersebut kemudian dilakukan
penelitian.
Keyakinan karena pengalaman merupakan hasil penelitian yang diperoleh
berdasarkan data empiris yang dikumpulkan dari beberapa lokasi kabupaten di
daerah Lampung seperti contoh tadi. Pernyataan secara sistematis yang bersifat
5
fundamental hasil proses berpikir induktif tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Apabila pertumbuhan ekonomi rendah, tingkat pendapatan penduduk juga
rendah.
(2) Makin rendah tingkat pendapatan, makin rendah minat penduduk membayar
premi asuransi jiwa.
(3) Di daerah kabupaten yang tingkat pendapatan penduduknya rendah, asuransi
jiwa sulit berkembang.
b. Proses berpikir deduktif
Proses berpikir deduktif adalah suatu proses berpikir untuk menarik
kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang bersifat umum. Proses
berpikir deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang disusun dari dua
buah pernyataan serta sebuah kesimpulan (silogismus). Pernyataan yang
mendukung silogismus disebut premis yang dibedakan sebagai premis mayor
dan premis minor. Berdasarkan kedua premis tersebut ditarik kesimpulan.
Contoh:
Di setiap kabupaten dalam Provinsi Lampung didirikan Pengadilan Agama
(premis mayor). Way Kanan adalah kabupaten yang baru dibentuk (premis
minor). Jadi, di Kabupaten Way Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama
(kesimpulan). Ketepatan menarik kesimpulan dalam proses berpikir deduktif tergantung
dari tiga hal, yaitu:
(1) kebenaran premis mayor;
(2) kebenaran premis minor;
(3) kebenaran penarikan kesimpulan.
Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru seperti pada contoh tadi: Di
Kabupaten Way Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama, pada hakikatnya
bukan pengetahuan baru dalam arti sebenarnya, melainkan hanya konsekuensi
yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan demikian, semua pengetahuan yang
telah dibuktikan kebenarannya secara deduktif tetap benar apabila postulat dan
kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya dianggap berlaku.
Tetapi mungkin juga pengambilan kesimpulan itu salah. Contoh pengambilan
kesimpulan yang salah adalah sebagai berikuit:
Di setiap kabupaten dalam Provinsi Lampung perlu didirikan Pengadilan Agama
(premis mayor). Di Kabupaten Way Kanan tidak pernah ada perceraian atau
sengketa waris Islam (premis minor). Walaupun demikian, di Kabupaten Way
Kanan perlu juga didirikan Pengadilan Agama (kesimpulan). Di mana letak
kesalahan kesimpulan tersebut? Kedua premis berlainan sifat, premis mayor
belum teruji kebenarannya, premis minor adalah fakta yang sudah teruji (tidak
ada perceraian atau sengketa waris Islam). Kesimpulan yang diambil bisa benar
dan bisa salah. Dikatakan benar apabila sesuai dengan dan diterima oleh logika.
Sebaliknya, dikatakan salah apabila tidak sesuai dengan dan tidak diterima oleh
logika. Sudah jelas tidak ada perceraian atau sengketa waris Islam, mengapa
perlu didirikan Pengadilan Agama? Seharusnya kesimpulan yang diambil: Di
Kabupaten Way Kanan, pendirian Pengadilan Agama perlu ditunda karena masih
6
mubazir, atau: Di Kabupaten Way Kanan belum perlu didirikan Pengadilan
Agama.
c. Proses Berpikir Kausalitas
Pada dasarnya setiap proses berpikir selalu menghasilkan pernyataan
atau pengetahuan yang terdiri dari unsur sebab dan unsur akibat. Unsur sebab
adalah peristiwa atau keadaan yang menyatakan mengapa sesuatu itu terjadi
atau timbul. Misalnya, mengapa lalu lintas di Bandar Lampung tidak teratur?
Jawabannya adalah: “sebab kesadaran hukum pengemudi rendah”, yang
menjadi sebab adalah kesadaran hukum pengemudi rendah. Jadi, yang
diungkapkan peneliti bukan tidak teraturnya lalu lintas, melainkan alasan (sebab)
tidak teraturnya lalu lintas itulah yang perlu diteliti. Dalam contoh ini, yang perlu
diteliti untuk dibenahi adalah rendahnya kesadaran hukum pengemudi, bagaimana
cara meningkatkan kesadaran hukum mereka. Dalam metode penelitian
sosial, unsur sebab ini disebut variabel bebas (independent variable).
Unsur akibat adalah peristiwa atau keadaan baru yang terjadi atau timbul
dari peristiwa atau keadaan yang sudah ada lebih dahulu. Akibat selalu terjadi
lebih kemudian dari sebab. Dengan kata lain, jika peristiwa atau keadaan itu
tidak ada, maka tidak terjadi atau tidak timbul peristiwa atau keadaan baru.
Akibat adalah hasil dari sebab. Sebagai contoh, “Presiden Soeharto turun dari
kekuasaannya akibat korupsi yang tak terkendali”. Dalam contoh ini, korupsi
yang tak terkendali adalah sebab, sedangkan Presiden Soeharto turun dari
kekuasaannya adalah akibat. Apabila kalimat pernyataan tersebut dibuat dalam
bentuk aktif, maka pernyataannya lebih jelas: “Korupsi yang tak terkendali
mengakibatkan Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya”. Dalam metode
penelitian sosial, unsur akibat ini disebut variable terikat (dependent variable).
Dalam penelitian sosial kedua jenis variable sebab akibat ini selalu ada
dan merupakan fakta atau gejala yang menjadi objek penelitian untuk diungkapkan.
Mungkin unsur sebab yang sudah diketahui lebih dahulu, kemudian baru
diteliti unsur akibat yang akan terjadi. Mungkin juga sudah diketahui akibat yang
terjadi, kemudian baru diteliti dan diungkapkan sebabnya. Dalam filsafat ilmu,
hubungan sebab-akibat (causality) merupakan esensi kegiatan berpikir yang
menjadi dasar berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk juga imu sosial.
Pada contoh yang telah dikemukakan di atas: “Lalu lintas di Bandar
Lampung tidak teratur sebab kesadaran hukum pengemudi rendah”. Hal yang
akan diungkapkan adalah unsur sebab, yaitu “kesadaran hukum pengemudi
rendah”. Untuk itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang termasuk dalam
unsur sebab (kesadaran hukum pengemudi rendah). Artinya tinggi rendah tingkat
kesadaran hukum pengemudi ditentukan oleh beberapa faktor yang terdapat
dalam diri pengemudi, antara lain:
(1) tingkat pendidikannya;
(2) pengetahuan tentang peraturan lalu lintas;
(3) pengetahuan teknis kendaraan bermotor;
(4) memiliki/tidak memiliki SIM;
(5) mobil milik sendiri atau milik pengusaha;
7
(6) lama pengalaman menjadi sopir, dst.
Faktor-faktor ini disebut variable bebas (independent variables) yang
menentukan tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum pengemudi. Faktorfaktor
tersebut menjadi dasar penyusunan kuesioner atau pedoman wawancara
untuk mengumpulkan data yang menjadi bahan dasar analisis.
3. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif seringkali digunakan dalam penelitian sosial. Hal ini
disebabkan gejala sosial seringkali tidak dapat ditunjukkan secara kuantitatif,
tidak dapat diukur. Metodologi penelitian kualitatif adalah suatu upaya yang
sistematis dalam penelitian sosial. Termasuk di dalamnya adalah kaidah dan
teknik untuk memuaskan keingintahuan peneliti pada suatu gejala sosial, atau
cara untuk menemukan kebenaran dalam memperoleh pengetahuan baru.
Penelitian kualitatif biasanya dimulai dengan suatu pertanyaan penilaian
mengenai suatu hal, misalnya:
a. Mengapa sering terjadi kemacetan lalu lintas di kota Jakarta?
b. Mengapa perusahaan asuransi jiwa sulit berkembang di Kabupaten Lamsel?
c. Mengapa pejabat cenderung ingin melakukan korupsi padahal itu melanggar
hukum?
d. Mengapa orang ingin mengonsumsi narkoba padahal dia tahu barang itu
sangat berbahaya bagi kesehatan dirinya?
e. Mengapa interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat cenderung berubah
menjadi anarkhis?
Penelitian kualitatif merupakan alat untuk melihat sejauh mana suatu
proses terjadi pada gejala sosial. Penelitian kualitatif pada umumnya menilai
fakta atau gejala sosial yang diteliti tidak menggunakan angka, melainkan cukup
menggunakan standar mutu atau kualitas yang dinyatakan dengan kata kata,
misalnya:
a. rendah, sedang, tinggi;
b. kurang, cukup, banyak;
c. jelek, bagus, bagus sekali;
d. sebagian kecil, sebagian besar, pada umumnya.
Karena menggunakan penilaian relatif atau tidak pasti, maka ada yang mengatakan
hasil penelitian kualitatif itu tidak objektif. Untuk menghindari hal itu, maka
diupayakan tidak hanya menggunakan analisis kualitatif, tetapi juga analisis
kuantitatif.
Penelitian kualitatif pada umumnya mempunyai ciri-ciri berikut ini:
a. Penyusunan proposal lebih mudah dengan variabel sederhana.
b. Alat pengumpul data sudah disusun lebih dahulu.
c. Bila menggunakan sampel dapat secara purposive.
d. Fakta (data) diperoleh langsung dari sumber pertama.
e. Analisis data dilakukan secara kualitatif. 4
4 Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Penerbit Citra Aditya Bakti.
Bandung. Hlm. 6-14
8
C. PENELITIAN SOSIAL
1. Penelitian Sosial Sebagai Kegiatan Ilmiah
Penelitian sosial merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala sosial tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain
itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta sosial tersebut
untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang
timbul dalam gejala yang bersangkutan.5 Berdasarkan pengertian ini, dapat
dinyatakan bahwa penelitian sosial dianggap sebagai penelitian ilmiah apabila
memenuhi kriteria berikut:
a. didasarkan pada metode, sistematika, dan logika berpikir tertentu;
b. bertujuan untuk mempelajari gejala sosial tertentu (data primer);
c. guna mencari solusi atas permasalahan yang timbul dari gejala yang diteliti
tersebut.
Penelitian sosial didasarkan pada metode, artinya semua kegiatan yang
meliputi persiapan penelitian, proses penelitian, dan hasil penelitian menggunakan
cara-cara yang secara umum diakui dan berlaku pada ilmu pengetahuan.
Kegiatan persiapan penelitian umumnya didahului dengan studi pustaka untuk
menemukan konsep-konsep, teori-teori diteruskan observasi di lapangan untuk
menjajagi gejala-gejala sosial yang akan dijadikan dasar perumusan masalah
dan tujuan serta strategi penelitian. Semuanya ini kemudian dituangkan dalam
bentuk proposal penelitian.
Proses penelitian merupakan kegiatan pelaksanaan penelitian berdasarkan
jadwal yang telah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu, meliputi pengumpulan
data sekunder dari perpustakaan (buku-buku literatur), dari perkantoran
(arsip, dokumen) dan pengumpulan data primer dari lapangan (lokasi penelitian).
Setelah data terkumpul, diteruskan dengan kegiatan pengolahan data dan
analisis data. Hasil penelitian tersebut kemudian ditulis dalam bentuk laporan
penelitian sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah yang siap untuk
dipublikasikan. Laporan penelitian berupa karya ilmiah tersebut dapat berbentuk
laporan jurnal penelitian, skripsi, tesis, atau disertasi.
Penelitian sosial selalu didasarkan pada sistem, yang memiliki unsur-unsur
sistem, yaitu subjek penelitian, objek penelitian, perilaku (kegiatan) penelitian,
hasil penelitian, dan publikasi hasil penelitian. Setiap unsur sistem tersebut
dikerjakan berdasarkan sistematika tertentu, baik format maupun substansi,
seperti klasifikasi, penggolongan, penandaan, urutan penyajian, analisis, dan
interpretasi. Penelitian didasarkan pada logika berpikir tertentu, yaitu logika
berpikir kausalitas (sebab-akibat) dalam melakukan analisis data, logika berpikir
deduktif atau induktif dalam pengambilan kesimpulan.
Penelitian sosial selalu mempunyai tujuan tertentu, baik tujuan proses
maupun tujuan akhir. Tujuan proses misalnya “menganalisis data yang diperoleh
guna membuktikan suatu peristiwa sosial sudah dilakukan atau tidak dilakukan”,
sedangkan tujuan akhir adalah hasil yang diperoleh berdasarkan tujuan proses.
5 Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Hlm. 43
9
Tujuan akhir misalnya “memperoleh gambaran lengkap tentang norma sosial
yang berlaku pada komunitas tertentu di suatu wilayah tertentu”, atau “pembeli
memiliki barang yang dibelinya dan penjual memperoleh pembayaran harga
barang yang dijualnya sesuai dengan perjanjian”, atau “memperoleh data
lengkap mengenai tindak kekerasan suami terhadap istri dalam kehidupan
keluarga di kota besar selama tahun 2005”. Tujuan yang dicapai dalam penelitian
sosial merupakan solusi atas masalah yang diteliti.
2. Strategi (Pendekatan) Penelitian Sosial
Walaupun bidang ilmu sosial terdiri dari beberapa subbidang ilmu, tidak
berarti strategi penelitiannya akan berbeda sama sekali antara satu sama lain.
Strategi penelitian sosial yang digunakan pada subbidang ilmu sosial selalu ada
kesamaan dengan strategi penelitian subbidang ilmu sosial yang lain. Strategi
penelitian merupakan cara pendekatan untuk menyelesaikan atau memecahkan
atau mencari solusi yang efektif dan efisien terhadap masalah penelitian yang
telah dirumuskan, sehingga mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Menurut Robert K. Yin, dalam penelitian sosial ada beberapa strategi yang
dapat digunakan, yaitu survei, studi kasus, eksperimen, sejarah, analisis arsip. 6
Pada penelitian sosial, strategi penelitian (pendekatan masalah) yang umum
digunakan adalah pendekatan studi kasus dan survei. Dalam uraian berikutnya,
strategi penelitian sosial yang diutamakan untuk dibahas dibatasi hanya pada
pendekatan studi kasus dan pendekatan survei, dengan alasan studi kasus
menggunakan logika berpikir induktif, sedangkan survei menggunakan logika
berpikir deduktif.
2.1 Pendekatan Studi Kasus
Pada penelitian sosial, strategi (pendekatan masalah) yang sangat penting
dan dominan adalah studi kasus (case study). Dalam hal ini, kasus dikonsepkan
sebagai peristiwa yang berupa rangkaian perilaku nyata, misalnya perjanjian jual
beli, pembunuhan seseorang, upacara pernikahan, kecelakaan lalu lintas, kinerja
DPRD Kabupaten/Kota, sewa guna usaha (leasing), tindak kekerasan suami
terhadap istri dalam kehidupan keluarga, pembagian harta warisan pada
masyarakat patrilineal, dll.
Dalam konteks studi kasus, ada tiga tipe studi kasus, yaitu studi kasus
non-yudisial, studi kasus yudisial, studi kasus langsung (live case study):
a. Studi kasus non-yudisial (non-judicial case study), yaitu studi kasus tanpa
konflik yang tidak melibatkan pengadilan. Kalaupun ada konflik, diselesaikan
oleh pihak-pihak sendiri secara damai.
b. Studi kasus yudisial (judicial case study), yaitu studi kasus karena konflik
yang kemudian diselesaikan melalui putusan pengadilan.
c. Studi kasus langsung (live case study), yaitu studi kasus yang masih
berlangsung dari awal kegiatan hingga berakhir, misalnya pengangkutan
6 Robert K. Yin. 1989. Case Study Research: Design and Methods. SAGE Publications.Ins.
California, London. Hlm. 17.
10
niaga yang sedang berlangsung diteliti proses berlakunya sejak pemberangkatan
hingga berakhir di tempat tujuan.
Dipandang dari segi karakteristik kasus yang menjadi objek penelitian,
studi kasus dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Studi kasus tunggal(single-case study)
Tipe studi kasus tunggal digunakan apabila kasus yang banyak itu mempunyai
kriteria atau karakteristik yang sama, sehingga cukup diambil satu kasus
saja. Dengan mengkaji satu kasus, maka semua kasus yang mempunyai kriteria
atau karakteristik yang sama itu sudah terwakili. Studi kasus tunggal dapat
menghemat biaya, waktu, dan tenaga. Contoh studi kasus tunggal antara lain
adalah studi kasus perjanjian kredit mikro antara usaha kecil dengan bank
karena karakteristiknya sama.
b. Studi kasus ganda (multi-case study)
Tipe studi kasus ganda digunakan apabila ada beberapa kasus yang mem
punyai kriteria berbeda, sehingga perlu diambil semua kasus atau beberapa
kasus yang mewakili semua kasus yang sejenis, secara purposive. Studi kasus
ganda lebih rumit dan makan biaya, waktu, dan tenaga lebih banyak. Contoh:
Studi kasus pembiayaan melalui kredit yang disalurkan oleh bank kepada
pengusaha dan studi kasus pembiayaan melalui modal ventura yang disalurkan
oleh perusahaan modal ventura kepada pengusaha. Mana yang lebih menguntungkan?
Contoh lagi: jika ada 100 kasus penyaluran kredit bank berdasarkan
perjanjian kredit biasa dan kredit mikro, maka secara purposive dapat diambil
satu perjanjian kredit biasa dan satu perjanjian kredit mikro yang mewakili
masing-masing jenis kredit yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian.
Dalam konteks studi kasus, metode analisis yang banyak digunakan
adalah content analysis, yaitu menguraikan materi peristiwa sosial secara rinci
guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan. Ada dua tipe content
analysis, yaitu tinjauan kritis (critical review) dan analisis kritis (critical analysis).
2.1.1 Tinjauan kritis (critical review)
Pada tipe ini, peneliti bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap,
rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek normatif yang diteliti guna
mencari dan menemukan alasan pembenaran atau penolakan suatu produk
perilaku. Pada tipe ini, peneliti melakukan analisis dari berbagai aspek dan
mengungkapkan segi negatif dan segi positif suatu produk perilaku. Contoh
produk perilaku, yaitu:
a. Tindak kekerasan terhadap anggota masyarakat dari kelompok tertentu,
akibatnya terjadi tawuran antar kelompok.
b. Ambisi politik segelintir orang lalu membentuk provinsi baru di Papua
sehingga menimbulkan reaksi keras penolakan dari masyarakat yang tidak
setuju.
c. Kenaikan harga BBM yang dianggap menyengsarakan masyarakat, akibatnya
timbul reaksi demonstrasi massa di mana-mana.
Hasil tinjauan kritis itu dapat mengakibatkan pembenaran produk perilaku
sehingga dapat menenteramkan masyarakat. Atau sebaliknya mengakibatkan
11
penolakan produk perilaku karena meresahkan masyarakat. Pembenaran yang
dapat menenteramkan masyarakat merupakan segi positif produk perilaku.
Sedangkan penolakan karena meresahkan masyarakat merupakan segi negatif
produk perilaku, yaitu menunjukkan perilaku cacat moral, mudharat, yaitu
dianggap tidak manusiawi, merugikan masyarakat lapisan bawah, merendahkan
martabat kelompok masyarakat marginal. Keadaan cacat moral itu akan
mengakibatkan ketidakstabilan, ketidaktertiban, ketidakpastian yang merugikan
masyarakat, pihak-pihak, bahkan negara sendiri. Hasil tinjauan kritis akan
menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan (decision maker),
perancang undang-undang (legal drafter), serta menjadi acuan kajian bagi
pendidikan ilmu-ilmu sosial,penelitian sosial, dan penyuluhan kepada masyarakat
2.1.2 Analisis kritis (critical analysis)
Tipe analisis kritis menduduki gradasi yang lebih tinggi daripada tinjauan
kritis. Apabila tinjauan kritis lebih menitikberatkan pada produk perilaku, maka
analisis kritis tidak hanya produk perilaku melainkan juga sumber produk perilaku
dengan segala motivasinya dari lapisan masyarakat bawah (grassroots) sampai
pada lapisan atas atau penguasa lokal dan nasional. Pada tipe ini, peneliti sosial
bertujuan untuk mengungkapkan lebih komprehensif tentang segi negatif (cacat
perilaku) dan juga segi positif (keunggulan) suatu produk perilaku untuk dijadikan
bahan menyusunan undang-undang, dasar pengambilan keputusan, sehingga
diperoleh gambaran komprehensif (comprehensive analysis), tidak hanya dari
belakang meja kerja, tetapi juga dari lapangan, yaitu lapisan masyarakat secara
keseluruhan. Contoh: Analisis kritis pemanfaatan tenaga kerja, analisis kritis
pengolahan sampah perkotaan, analisis kritis cara mengatasi masalah penyakit
masyarakat (PSK, gepeng, perjudian, miras, dll).
Tipe analisis kritis mengkaji dengan cermat apakah suatu peristiwa sosial,
atau produk perilaku berakar pada masyarakat, sehingga didukung dan diterima
oleh masyarakat karena dirasakan benar dan adil, atau sebaliknya ditolak
masyarakat karena tidak benar, tidak adil, merugikan masyarakat. Pada tipe ini,
peneliti mengungkapkan tidak hanya segi negatif, tetapi juga segi positif berupa
keunggulan dan kelebihan (secara filosofis, yuridis, sosiolgis) dan sekaligus
menunjukkan solusi terbaik dan tepat yang perlu dilakukan oleh pengambil
keputusan, pembuat undang-undang, tokoh masyarakat. Contoh kasus mencolok
dalam masyarakat dewasa ini adalah kasus sengketa tanah di kota dan di desa,
kasus pemekaran daerah otonom di Irian Jaya yang mengakibatkan perang suku
antara yang pro dan kontra.
Tipe analisis kritis adalah tipe kajian yang paling berbobot dari segi
akademik dan segi praktis, teknik perundang-undangan karena kondisi objektif
dan nyata di lapangan dijadikan bahan kajian dan analisis. Tipe ini bermanfaat
bagi pengambil keputusan, perancang undang-undang, pendidikan dan praktisi
sosial, dan penyuluh masyarakat di lapangan.
Karakteristik dari studi kasus adalah data yang dianalisis hanya data yang
bersumber dari kasus yang dijadikan objek penelitian, peneliti tidak boleh
menggunakan data di luar kasus yang bersangkutan. Dalam studi kasus,
12
pengambilan kesimpulan dilakukan secara induktif, artinya dari fakta kongkrit
digeneralisasikan secara abstrak kepada kasus yang sejenis. Hasil penelitian
studi kasus lebih akurat dan realistik daripada hasil penelitian survei, dapat
dijadikan acuan pengambilan keputusan, dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek).
Dalam konteks penelitian sosial, ada dua tipe perilaku yang menjadi objek
penelitian, yaitu:
a. Perilaku berpola (patterned behaviour)
Perilaku berpola biasanya terdapat dalam kelompok masyarakat, sifatnya
seremonial seperti upacara kelahiran, perkawinan, kematian, keagamaan,
pertanian.
b. Perilaku tidak berpola (unpatterned behaviour)
Perilaku tidak berpola biasanya terdapat dalam hubungan antara pribadi
atau individu dalam masyarakat, misalnya jual beli kredit kebutuhan sehari-hari,
keagenan dalam kegiatan bisnis, tolong-menolong membuat rumah, panenan,
mengatasi masalah korban bencana alam. Juga dalam hubungan rakyat dengan
penguasa, misalnya penggusuran PKL, PSK, perjudian, miras, dll.
2.2 Pendekatan Survei
Istilah survei adalah serapan dari kata bahasa Inggris survey, artinya
pengamatan atau penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang
jelas dan baik terhadap suatu masalah tertentu dan di dalam suatu daerah
tertentu. Tujuan survei adalah mendapatkan gambaran yang benar tentang suatu
gejala sosial atau peristiwa tertentu yang ada atau terjadi di suatu lokasi dalam
suatu daerah. Pelaksanaan suatu survei tidaklah semua individu dari populasi itu
diteliti, namun hasil yang diharapkan harus menggambarkan sifat populasi ybs.
Oleh karena itu, metode pengambilan sampel (sampling method) dalam suatu
survei memegang peranan sangat penting. Metode pengambilan sampel yang
tidak benar akan merusak hasil survei itu. 7
Pada penelitian sosial, pendekatan survei juga banyak digunakan.
Contohnya peneliti waris ingin memperoleh gambaran tentang sikap masyarakat
patrilineal di Kota Bandar Lampung mengenai porsi pembagian waris antara ahli
waris pria dan ahli waris wanita. Apakah masyarakat cenderung mengikuti sistem
pembagian waris yang sama porsinya atau tetap berpegang pada sistem
pembagian waris antara ahli waris pria dan ahli waris wanita 2 porsi berbanding 1
porsi.
Survei dapat dilakukan secara individual atau secara kelompok. Menurut
van Dalen, dilihat dari wilayah geografis maupun variabelnya, survei dapat luas
bahkan sangat luas maupun sempit. Winarno Surakhmad juga mengatakan
bahwa pada umumnya survei merupakan cara pengumpulan data dari sejumlah
unit atau individu dalam waktu (jangka waktu) yang bersamaan, biasanya
jumlahnya cukup besar. 8 Pada pendekatan survei, jumlah populasi yang begitu
7 Musa dan Nurfitri. 1988. Metodologi Penelitian. Penerbit Fajar Agung. Jakarta. Hlm. 66
8 Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta. Hlm.84.
13
besar tidak mungkin diteliti semuanya secara sensus. Oleh karena itu,
pemecahan masalah perlu dilakukan melalui beberapa sampel saja yang
mewakili seluruh populasi.
Pemilihan sampel perlu dilakukan karena dalam benak peneliti timbul
pertanyaan, mungkinkah suatu penelitian dilakukan terhadap seluruh populasi
objek penelitian? Jika mungkin, berapa besar biaya, berapa lama waktu, berapa
banyak pula tenaga yang dibutuhkan? Efisien dan efektifkah penelitian yang
demikian? Akhirnya dicari solusi untuk menghindari besarnya biaya, lamanya
waktu, dan banyaknya tenaga dengan jalan melakukan penelitian hanya
terhadap sebagian kecil populasi saja. Meskipun demikian, sebagian kecil
populasi yang dijadikan sampel itu menjadi tolok ukur yang mewakili seluruh
populasi. Sampel yang menjadi tolok ukur penelitian memang dapat diandalkan,
asalkan pengambilan sampel dilakukan dengan benar dan tepat. Cara
mengambil sebagian kecil dari populasi objek penelitian ini disebut teknik
sampling. 9
Berapa besar sampel yang seharusnya digunakan, sampai saat sekarang
kiranya belum ada kesepakatan di antara para peneliti. Namun, dari sifat
populasinya dapat ditentukan langkah-langkah penentuan besarnya sampel,
yaitu:
a. Apabila populasi heterogen, sebaiknya diambil sampel yang besar jumlahnya.
Makin besar sampel yang diambil, makin mendekati cerminan populasi.
b. Apabila populasi homogen, sampel tidak harus banyak. Namun peneliti tidak
begitu saja mengambil sampel terlalu sedikit. 10
2.2.1 Probability random sampling
Penentuan sampel dapat dilakukan secara probability random sampling.
Penentuan sampel secara probability random sampling didasarkan pada seluruh
populasi yang mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel.
Penerapan probability randon sampling biasanya dilandasi pertimbangan bahwa
jumlah keseluruhan populasi sudah diketahui dan hasil penelitian dipakai sebagai
generalisasi terhadap keseluruhan populasi. Agar generalisasi terhadap keseluruhan
populasi dapat mencapai hasil optimal, sebaiknya ditentukan lebih dahulu
jumlah sampel yang diperlukan. 11
Sebagai contoh, populasi keseluruhan pasangan suami istri (pasutri)
sudah diketahui jumlahnya 500 pasutri. Jumlah sampel yang dibutuhkan
ditentukan 10%, yaitu 10% x 500 pasutri = 50 pasutri, masing-masing populasi
memperoleh kemungkinan menjadi sampel adalah 500 : 50 = 10 : 1 artinya
setiap 10 pasutri hanya mungkin menjadi sampel 1 pasutri. Jadi, apabila diambil
sampel secara acak (random), maka setiap 10 pasutri diambil 1 pasutri saja.
Sampel 50 pasutri inilah yang akan diinterview sikapnya tentang sistem
pembagian warisan dalam masyarakat patrilineal, apakah terjadi kecenderungan
9 Bambang Waluyo, 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.
Hlm. 43
10 Ibid. hlm. 45
11 Ibid, hlm. 46
14
anak pria dan anak wanita memperoleh hak waris yang sama bagiannya atau
tetap seperti yang sudah berlaku hingga kini, anak pria mendapat 2/3 bagian
warisan dan anak wanita mendapat 1/3 bagian warisan, atau boleh pilih satu
antara dua porsi tsb.
Penentuan sampel secara probability random sampling dapat dilakukan
secara langsung terhadap populasi individu apabila lokasi penelitian tidak begitu
luas, misalnya terhadap sejumlah sampel kepala keluarga di lingkungan RT
tertentu. Atau dapat juga secara bertingkat menurut wilayahnya apabila lokasi
penelitian cukup luas. Tahap pertama penentuan sampel wilayahnya, kemudian
baru penentuan sampel penduduk wilayah itu, baik menurut kelompok
masyarakat ataupun individu. Misalnya dalam suatu kabupaten yang terdiri dari
beberapa kecamatan diambil satu kecamatan, dalam satu kecamatan yang terdiri
dari beberapa desa itu diambil tiga desa tertentu, dari tiga desa tertentu itu
diambil beberapa sampel penduduk secara berimbang (proportional). 12
2.2.2 Purposive sampling
Pengambilan sampel secara purposive sampling disesuaikan dengan
tujuan penelitian. Ukuran sampel tidak dipersoalkan. Sampel yang diambil hanya
yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kata lain, sampel yang dihubungi
adalah sampel yang sesuai dengan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan
tujuan penelitian. Misalnya, suatu penelitian tentang tata tertib lalu lintas di kota
Bandar Lampung. Sampel yang diambil hanya pemilik kendaraan bermotor yang
tercatat di kepolisian atau pemilik SIM. Pengumpulan data hanya terbatas pada
sampel purposive tersebut, tidak termasuk pengendara yang mungkin bukan
pemilik kendaraan bermotor atau mungkin tidak memiliki SIM. Setelah jumlahnya
dianggap cukup, maka pengumpulan data dihentikan dan dilakukan pengolahan
data. 13
D. KLASIFIKASI PENELITIAN SOSIAL
1. Berdasarkan Sifat dan Tujuan Penelitian
Soerjono Soekanto melihat dari segi “sifat penelitian”, beliau membedakan
penelitian sosial menjadi tiga tipe, yaitu penelitian eskploratori, penelitian
deskriptif, dan penelitian eksplanatori. 14 J. Vredenbregt melihat dari segi “tujuan
penelitian”, beliau juga membedakan penelitian sosial menjadi tiga tipe, yaitu
penelitian eksploratori, penelitian deskriptif, penelitian eksplanatori.15 Robert K.
Yin melihat dari segi strategi studi kasus, ada tiga tipe studi kasus penelitian
sosial yaitu exploratory case study, descriptive case study, and explanatory case
study.16 Dengan demikian, ada tiga tipe penelitian sosial, yaitu:
12 Abdulkadir Muhammad. Op. Cit. hlm. 38-47
13 Musa dan Nurfitri. Op. Cit. hlm. 93
14 Soerjono Soekanto. Op. Cit. hlm. 50
15 J. Vredenbregt. 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Penerbit Gramedia.
Jakarta.
16 Robert K. Yin. Op. Cit. hlm. 15.
15
a. penelitian eksploratori (exploratory study);
b. penelitian deskriptif (descriptive study);
c. penelitian eksplanatori (explanatory study).
1.1 Penelitian Eksploratori
Penelitian eksploratori bersifat mendasar dan bertujuan untuk memperoleh
keterangan, informasi, data mengenai hal-hal yang belum diketahui. Karena
bersifat mendasar, penelitian ini disebut penjelajahan (eksploration). Penelitian
eksploratori dilakukan apabila peneliti belum memperoleh data awal sehingga
belum mempunyai gambaran sama sekali mengenai hal yang akan diteliti.
Penelitian eksploratori tidak memerlukan hipotesis atau teori tertentu. Peneliti
hanya menyiapkan beberapa pertanyaan sebagai penuntun untuk memperoleh
data primer berupa keterangan, informasi, sebagai data awal yang diperlukan.
Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah observasi di
lokasi penelitian dan wawancara dengan responden. Mereka yang dapat
dijadikan responden adalah tokoh masyarakat setempat, pejabat pemerintah
daerah setempat, anggota kelompok masyarakat tertentu, semuanya yang
dianggap relevan dengan tujuan penelitian eksploratori. Penelitian eksploratori
adalah semacam studi kelayakan (feasibility study)
Misalnya, peneliti ingin memperoleh data awal tentang kemungkinan
mendirikan cabang perusahaan asuransi jiwa di kota Metro. Peneliti menyusun
daftar pertanyaan (bukan rumusan masalah) guna mengetahui potensi
pemasaran asuransi jiwa sebagai berikut:
a. Berapa jumlah penduduk di kota Metro?
b. Apa mata pencarian mereka?
c. Berapa jumlah pendapatan per kapita?
d. Apa ada perusahaan asuransi jiwa di kota Metro?
e. Bagaimana pengetahuan penduduk tentang asuransi jiwa?
f. Apakah pernah dilakukan penelitian tentang asuransi jiwa di kota Metro?
g. Apakah pernah dilakukan pemasaran asuransi jiwa melalui penyuluhan
kepada penduduk kota Metro?
h. Dan seterusnya sesuai dengan tujuan penelitian.
Berdasarkan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, dan hasil analisis
dapat disimpulkan apakah cukup potensial atau tidak membuka cabang asuransi
jiwa di kota Metro. Hasil penelitian eksploratori tersebut dijadikan masukan bagi
manajemen kantor pusat perusahaan asuransi jiwa untuk mengambil keputusan
apakah patut membuka kantor cabang asuransi jiwa di kota Metro.
1.2 Penelitian Deskriptif
Penelitian deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh
gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan komunitas tertentu yang
berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial tertentu, atau peristiwa
hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Pada penelitian tipe ini, peneliti
biasanya sudah memperoleh data awal atau mempunyai pengetahuan awal
16
tentang masalah yang akan diteliti. Pada penelitian deskriptif, seorang peneliti
sudah biasa menggunakan teori atau hipotesis. Contoh penelitian deskriptif yang
akan diperoleh paparannya adalah mengenai: “Kesadaran hukum masyarakat
pengguna jalan raya terhadap ketertiban lalu lintas di Kota Bandar Lampung”.
Masalah yang dapat dikemukakan adalah: Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
tingginya angka kecelakaan lalu lintas angkutan kota di Bandar lampung?
Dugaan yang dapat diperkirakan sebagai penyebab tingginya angka
kecelakaan lalu lintas angkutan kota adalah faktor pengemudi angkot, pejalan
kaki, pedagang kaki lima, petugas parkir, yang tingkat kesadaran hukumnya
rendah, dan faktor sarana lalu lintas yang tidak sempurna di kota Bandar
Lampung. Apa benar demikian? Fokus penelitian adalah pada kesadaran hukum
pengemudi angkot, pejalan kaki, pedagang K5, petugas parkir, dan sarana lalu
lintas (luas jalan, pembatas jalan, trayek angkot, rambu-rambu lalu lintas, fasilitas
parkir, sebra cross, jembatan penyeberangan). Lokasi penelitian di kota Bandar
Lampung. Faktor-faktor yang akan diungkapkan adalah faktor objektif (sarana
lalu lintas), dan faktor subjektif (manusia pengguna jalan raya).
Faktor objektif yang dapat diungkapkan meliputi:
a. Jalan dilengkapi/tidak dilengkapi dengan rambu-rambu lalu lintas.
b. Berfungsi/tidak berfungsinya rambu-rambu lalu lintas.
c. Jalan memakai pembatas/tidak memakai pembatas.
d. Jalan dijadikan/tidak dijadikan tempat parker.
e. Jalan ditempati/tidak ditempati oleh pedagang kaki lima.
f. Jalan dilengkapi/tidak dilengkapi tempat penyeberangan khusus;
g. Trayek angkot ditentukan/tidak ditentukan, padat/tidak padat.
Faktor subjektif yang dapat diungkapkan meliputi:
a. Tingkat pendidikan
b. Pengetahuan tentang peraturan lalu lintas (UU No.14 Tahun 1992).
c. Pengetahuan persyaratan teknis kendaraan bermotor.
d. Lama pengalaman jadi supir angkot.
e. Cara memperoleh SIM.
f. Angkot milik sendiri atau pengusaha.
g. Sistem penegakan hukum lalu lintas.
Gambaran atau paparan yang diperoleh berdasarkan faktor-faktor yang
diungkapkan tadi akan menentukan tinggi/rendah tingkat kesadaran hukum
pengguna jalan raya dan keefektifan sarana lalu lintas di kota Bandar Lampung,
sehingga pelaksanaan lalu lintas menjadi semrawut/tidak semrawut. Menurut
teori sosiologi hukum lalu lintas, makin tinggi kesadaran hukum pengguna jalan
raya, makin sempurna sarana lalu lintas, makin kecil kemungkinan terjadi
kecelakaan lalu lintas. Sebaliknya, makin rendah kesadaran hukum pengguna
jalan raya, makin tidak sempurna sarana lalu lintas, makin besar kemungkinan
terjadi kecelakaan lalu lintas. Hipotesis yang dapat dirumuskan adalah: “Makin
rendah kesadaran hukum pengguna jalan raya dan makin tidak sempurna sarana
lalu lintas, makin tinggi angka kecelakaan lalu lintas”.
17
1.3 Penelitian Eksplanatori
Penelitian eksplanatori bersifat penjelasan dan bertujuan untuk menguji
suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau
hipotesis hasil penelitian yang sudah ada. Contoh penelitian eksplanatori bidang
hukum keluarga adalah mengenai: “Pengaruh kesejahteraan rumah tangga
terhadap kenakalan remaja”. Hipotesis yang akan diuji misalnya adalah “Makin
sejahtera kehidupan rumah tangga, makin rendah tingkat kenakalan remaja”.
Ternyata hasil penelitian hukum keluarga menunjukkan pengaruh negatrif yang
signifikan, berarti hipotesis itu tidak benar, harus ditolak. Kehidupan rumah
tangga masyarakat umumnya sudah sejahtera, namun tingkat kenakalan remaja
masih tinggi, ini berarti ada variabel lain yang menjadi penyebab kenakalan
remaja, tetapi luput dari penelitian, misalnya faktor siaran televisi atau bacaan
tidak mendidik (porno, kekerasan, kekejaman).
E. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN SOSIAL
Walaupun bidang ilmu sosial berbeda satu sama lainnya, tidak berarti
penelitiannya akan berbeda sama sekali antara satu sama lain. Langkahlangkah
yang akan ditempuh selalu mempunyai kesamaan. Langkah-langkah
penelitian sosial paling tidak adalah sebagai berikut.
1. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dapat diartikan sebagai suatu pernyataan yang
lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti
berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah. Rumusan masalah dapat
dibuat dalam bentuk kalimat tanya atau kalimat pernyataan, sekhusus mungkin
tetapi tetap mencerminkan adanya hubungan antara berbagai variabel. Rumusan
masalah yang jelas akan menghindari pengumpulan data yang tidak perlu,
sehingga dapat menghemat biaya, waktu, dan tenaga. Penelitian akan lebih
terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Para ilmuan mengatakan: Masalah yang
dirumuskan dengan baik berarti setengah dari kegiatan penelitian sudah selesai.
Adapun contoh rumusan masalah, antara lain mengenai pembagian harta
bersama akibat perceraian suami dan istri adalah sebagai berikut:
“Sistem pembagian manakah yang dianggap cocok untuk dijadikan dasar
pembagian harta bersama akibat perceraian antara suami dan istri” di daerah
Lampung? Mengapa sistem pembagian yang dijadikan masalah? Karena hukum
waris yang berlaku di Indonesia masih pluralistis, ada yang mengikuti ketentuan
KUHPdt, ada yang mengikuti ketentuan hukum adat, dan ada yang mengikuti
ketentuan hukum Islam. Dalam rumusan masalah tersebut terdapat beberapa
faktor yang termasuk dalam lingkup masalah, yaitu:
a. perceraian suami istri (sebab);
b. pembagian harta bersama (akibat);
c. sistem pembagian yang dianggap cocok (instrumen).
d. daerah Lampung (lokasi penelitian).
18
2. Strategi Penelitian (Pendekatan Masalah)
Setiap bidang ilmu mempunyai karakteristik penelitiannya masing-masing,
termasuk juga ilmu-ilmu sosial. Khusus mengenai strategi penelitian (pendekatan
masalah) sangat tergantung pada jenis penelitian. Pendekatan masalah adalah
proses penyelesaian atau mencari solusi yang efektif dan efisien terhadap
masalah penelitian yang telah dirumuskan sehingga mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Dalam ilmu sosial dikenal tiga jenis penelitian, yaitu penelitian
normatif, penelitian terapan, dan penelitian empiris.
2.1 Penelitian Normatif
Pada penelitian normatif, pendekatan masalah yang dapat digunakan
umumnya adalah content analysis approach. Untuk menggunakan content
analysis approach, peneliti lebih dahulu telah merumuskan masalah dan tujuan
penelitian. Masalah dan tujuan penelitian perlu dirumuskan secara rinci, jelas,
akurat. Makin rinci, jelas, dan akurat rumusan masalah, makin jelas, luas, dan
pasti tujuan yang akan dicapai.
Dalam konteks penelitian normatif, ada tiga tipe pendekatan content
analysis, yaitu:
a. Pendekatan eksploratori (exploratory approach)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan pertama dan sederhana yang
digunakan peneliti dalam content analysis approach. Pada tipe ini, peneliti bertujuan
untuk memperoleh data awal melalui kegiatan penjelajahan (exploration)
terhadap objek penelitian. Di sini peneliti belum memiliki data/informasi sama
sekali mengenai objek penelitian. Untuk memperoleh data/informasi awal itu,
peneliti menyusun daftar pertanyaan penuntun (bukan rumusan masalah) sesuai
dengan kebutuhan. Jawaban yang diperoleh atas pertanyaan penuntun dalam
penjelajahan, kemudian disusun secara lengkap, rinci, dan sistematis sebagai
data/informasi awal untuk pengambilan keputusan.
b. Pendekatan tinjauan/ulasan (review approach)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan kedua yang digunakan peneliti dalam
content analysis approach. Pada tipe ini, peneliti bertujuan untuk memperoleh
gambaran lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang beberapa aspek normatif
yang dibahas atau diulas. Pada tipe ini, peneliti melakukan tinjauan dari berbagai
aspek filosofis, sosiologis, yuridis, guna mengungkapkan ketidaksempurnaan,
kelemahan, kekurangan, kecerobohan, kerugian, mudharat dari ketentuan acuan
normatif yang menjadi objek penelitian. Ketidaksempurnaan tersebut akan
menghambat pembangunan, merugikan kepentingan masyarakat, pihak-pihak,
bahkan negara.
c. Pendekatan analisis komprehensif (comprehensive analysis)
Pendekatan tipe ini adalah tingkatan ketiga dan tertinggi serta lebih
lengkap dan rinci dalam content analysis approach dibandingkan dengan tipe
review approach. Pada tipe ke-3 ini, peneliti mengungkapkan tidak hanya segi
ketidaksempurnaan, tetapi juga segi keunggulan, dan sekaligus menunjukkan
solusi terbaik dan tepat yang perlu dilakukan oleh tokoh masyarakat atau
19
pembuat undang-undang, atau pengambil keputusan. Pendekatan comprehensive
analysis adalah tipe analisis yang paling berbobot dari segi akademik
dan teknik perundang-undangan.
2.2 Penelitian Terapan
Pada penelitian terapan, pendekatan masalah yang dapat digunakan
adalah applied approach. Untuk menggunakan applied approach, peneliti lebih
dahulu telah merumuskan masalah dan tujuan penelitian serta langkah-langkah
yang akan ditempuh. Makin rinci, jelas, dan akurat rumusan masalah, makin
jelas, luas, dan pasti tujuan yang akan dicapai berdasarkan langkah-langkah
yang ditempuh dalam penelitian terapan. Rumusan masalah dan tujuan
penelitian dijadikan dasar pengumpulan, pengolahan, dan analisis data serta
dasar pembuatan sistematika hasil penelitian terapan. Analisis data dilakukan
secara kualitatif, komprehensif, dan lengkap, sehingga menghasilkan produk
penelitian terapan yang lebih sempurna.
3. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian sosial pada dasarnya merupakan uraian singkat
tentang kerangka penelitian yang akan dilakukan. Rancangan penelitian sangat
penting bagi seorang peneliti, di samping berisikan garis-garis besar
pelaksanaan penelitian, juga dapat menjadi sarana untuk memperoleh dana
pembiayaan dari pihak lain. Dilihat dari segi sistematika isi dan format rancangan
penelitian, dalam praktiknya tidak ada keseragaman. Kadang-kadang tergantung
juga pada lembaga, instansi, atau institusi masing-masing atau pihak pemberi
dana. Pada perguruan tinggi tertentu biasanya telah ditetapkan sistematika dan
format berdasarkan buku pedoman yang telah disepakati. Biasanya rancangan
penelitian sosial diwujudkan dalam bentuk proposal penelitian (research
proposal).
4. Observasi dan Wawancara
Observasi adalah kegiatan yang dilakukan di lokasi penelitian. Ada dua
jenis observasi, yaitu observasi prapenelitian berupa peninjauan di lapangan,
penjajagan awal mengenai segala hal yang berhubungan dengan penyusunan
rancangan penelitian dan kemungkinan memperoleh data yang diperlukan.
Selain itu, observasi merupakan kegiatan pengumpulan data di lokasi penelitian
dengan berpedoman pada alat pengumpul data yang sudah disiapkan lebih
dahulu. Alat pengumpul data di lapangan dibuat berdasarkan rancangan
penelitian. Penyusunan alat pengumpul data dilakukan dengan teliti karena
menjadi pedoman pengumpulan data yang diperlukan. Selain observasi, alat
pengumpul data biasanya berbentuk kuesioner, baik tertutup maupun terbuka,
dan pedoman wawancara.
20
5. Pengolahan dan Analisis Data
Apabila data sudah terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mengolah
dan menganalisis data. Langkah ini sangat penting dalam penelitian sosial.
Apabila kurang dipahami dan tidak dikerjakan dengan sungguh sungguh, maka
hasil penelitian kurang memuaskan. Terhadap data yang sudah terkumpul dan
diolah, peneliti segera menetapkan analisis apa yang sekiranya dapat dilakukan,
analisis kualitatif, atau kuantitatif, atau kedua duanya. Pada tahap analisis data,
secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji karena pada tahap ini
ketelitian dan pencurahan daya pikir diperlukan secara optimal. Di sini diperlukan
ketajaman berpikir. Apabila analisis data yang dilakukan tidak sesuai dengan tipe
dan tujuan penelitian serta karakteristik data yang terkumpul, maka akibatnya
sangat fatal.
Apabila data yang terkumpul kebanyakan bersifat pengukuran (berupa
angka angka), maka analisis dilakukan secara kuantitatif. Tetapi apabila sulit
diukur dengan angka, maka analisis data dilakukan secara kualitatif. Pada
penelitian sosial umumnya seringkali digunakan analisis kualitatif. Data yang
sudah dianalisis dibuat dalam bentuk laporan penelitian. Mengapa penelitian
sosial seringkali menggunakan analisis kualitatif? Menurut Bambang Waluyo,
analisis kualitatif digunakan apabila:
a. Data yang terkumpul tidak berupa angka yang dapat diukur.
b. Data yang terkumpul sukar diukur dengan angka.
c. Hubungan antar variabel tidak jelas.
d. Sampel lebih bersifat nonprobabilitas.
e. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi.
f. Penggunaan teori sosial yang relevan sangat diperlukan.
g. Penggunaan analisis kualitatif sangat tepat pada penelitian eksploratory,
deskriptif, dan normatif. 17
Analisis kuantitatif baru digunakan apabila data yang diperoleh menunjukkan
hal-hal seperti berikut:
a. Data berupa gejala yang terdiri dari angka-angka.
b. Sampel diambil dengan metode yang cermat dan teliti.
c. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner tertutup.
d. Hubungan antar variabel sangat jelas.
e. Peneliti harus menguasai teori yang relevan
Analisis kuantitatif lebih banyak digunakan pada penelitian eksplanatori. Tetapi
pada penelitian deskriptif, analisis kualitatif dan kuantitatif dapat digunakan
bersama-sama.
6. Penulisan Laporan Penelitian
Laporan penelitian merupakan hasil penyajian data yang sudah diolah dan
17 Bambang Waluyo. 1991. Op. Cit. hlm.48
21
dianalisis ke dalam bentuk suatu karya tulis ilmiah. Penulisan laporan penelitian
merupakan kerja terberat bagi peneliti. Peneliti diuji kemampuannya menulis
karya ilmiah dengan menggunakan bahasa, kaidah penulisan ilmiah, sistematika
isi, dan format yang baik dan benar sesuai dengan pedoman penulisan karya
ilmiah. Penulisan laporan penelitian memerlukan keahlian tersendiri. Melalui
penulisan laporan penelitian akan diketahui kemampuan ilmiah peneliti paling
sedikit meliputi empat aspek kemampuan berikut ini:
a. Kemampuan menerapkan teori yang relevan.
b. Kemampuan menerapkan metode penelitian yang tepat.
c. Kemampuan membuat sistematika dan format laporan.
d. Kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek.
Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Bachtiar, Harsja. 1981. Penggolongan Ilmu Pengetahuan. Depdikbud. Jakarta.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Rajawali.
Jakarta.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Penerbit Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Koentjaraningrat, Ed. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Penerbit
Gramedia. Jakarta.
Musa, Mohammad dan Titi Nurfitri. 1988. Metodologi Penelitian. Penerbit Fajar
Agung. Jakarta
Nazir, Mohammad. 1985. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Vredenbregt, J. 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Penerbit
Gramedia. Jakarta.
Waluyo, Bambang. 1991. Penelitian Hukum Dalam Praktik. Penerbit Sinar
Grafika. Jakarta.
Yin, Robert K. 1989. Case Study Research : Design and Methods. SAGE
Publications Inc. California, London, New Delhi 

PENGEMBANGAN INSTRUMEN
DALAM PENELITIAN SOSIAL*)
Dr. Ravik Karsidi, M.S.**)
Instrumen atau alat ukur merupakan hal yang sangat penting di dalam
kegiatan penelitian. Hal ini karena perolehan suatu informasi atau data relevan atau
tidaknya, tergantung pada alat ukur tersebut. Oleh karena itu, alat ukur penelitian
harus memiliki validitas dan reliabilitas yang memadai.
Mengenai validitas dan reliabilitas alat ukur dapat dibimbing dan diarahkan
dengan pertanyaan-pertanyaan : Apakah alat ukur yang digunakan tersebut sudah
dapat mengukur apa yang hendak diukur ? Apakah alat ukur tersebut telah mencakup
semua atau sebagian fenomena yang hendak diukur ? Apakah semua item-item yang
ada di dalam instrumen tersebut sudah mampu dipahami oleh semua responden ?
Apakah di dalam item-item tersebut sudah tidak ada kata-kata atau istilah yang
ambiguous atau memiliki arti ganda ? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan dapat
mengecek tentang validitas dan reliabilitas suatu alat ukur.
Suatu alat ukur atau instrumen dikembangkan untuk menterjemahkan
variabel (peubah), konsep dan indikator yang dipergunakan dalam mengungkap data
suatu penelitian. Semakin suatu peubah, konsep, dan indikator penelitian diukur
dengan baik, maka akan semakin baik pula instrumen penelitian tersebut
dikembangkan.
Tulisan singkat ini bermaksud mengembangkan suatu instrumen pengumpulan
data dalam penelitian sosial, dengan terlebih dahulu mengupas serba singkat
validitas, realibilitas, dan beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan.
Validitas Alat Ukur
Alat ukur dikatakan valid (sahih) apabila alat ukur tersebut mampu mengukur
dengan tepat apa yang hendak diukur. Terdapat dua unsur penting yang tidak dapat
*). Disampaikan dalam Latihan Penelitian Tingkat Dasar/LPTD, STAIN Surakarta, 11 Juli 2000
**). Ketua LPM UNS dan Koordinator Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah Wilayah I Surakarta
3
dipisahkan dari prinsip validitas, yaitu kejituan dan ketelitian (Hadi, 1980). Suatu alat
ukur dikatakan jitu apabila alat ukur tersebut dapat dipergunakan secara tepat dan jitu
mengenai sasaran. Demikian juga alat ukur dikatakan teliti jika alat ukur tersebut
mempunyai kemampuan yang cermat untuk dapat memperlihatkan besar kecilnya
gejala atau bagian gejala yang hendak diukur.
Dalam ilmu-ilmu sosial yang sifatnya lebih abstrak, untuk menentukan gejala
secara persis memang sulit dilaksanakan. Oleh karena itu validitas dalam ilmu-ilmu
sosial lebih sering berupa pengukuran derajad kedekatan atau mendekati kepada
kebenaran dan bukan masalah sama sekali benar atau sama sekali salah.
Pembuatan instrumen atau alat ukur dapat dilakukan dengan acuan vaiditas
konstruk atau validitas kerangka (construct validity) dan validitas isi (content
validity). Validitas kerangka, menjabarkan peubah menjadi sub-peubah, indikator,
dan indikan atau diskriptor. Untuk menghindari kesilapan penjabaran atau penuangan
ke dalam item, maka instrumen tersebut dikonsultasikan kepada beberapa ahli yang
dipandang memahami peubah yang sedang diteliti dan juga kepada ahli dalam
pembuatan instrumen. Proses yang terakhir tersebut merupakan proses validasi isi,
atau disebut validitas isi.
Reliabilitas Alat Ukur
Alat ukur dikatakan reliable (andal) jika alat ukur tersebut memiliki sifat
konstan, stabil atau tepat. Jadi, alat ukur dinyatakan reliable apabila diujicobakan
terhadap sekelompok subyek akan tetap sama hasilnya, walaupun dalam waktu yang
berbeda, dan/atau jika dikenakan pada lain subyek yang sama karakteristiknya
hasilnya akan sama juga.
Ada beberapa teknik untuk menguji reliabilitas alat ukur. Menurut Hadi
( 1980) ada tiga teknik yang biasanya digunakan, yaitu (1) teknik ulangan, (2) teknik
belah dua, dan (3) teknik paralel. Dalam teknik ulangan alat ukur yang sama
diberikan kepada sejumlah subyek yang sama pada saat yang berbeda, dalam kondisikondisi
pengukuran yang relatif sama. Untuk mengetahui koefisien korelasinya
4
antara skor-skor pada tes pertama dan kedua dikorelasikan. Jika koefisiennya tinggi
maka reliabilitas alat ukur tersebut berarti tinggi.
Teknik belah dua adalah, bahwa suatu alat ukur dianggap terdiri dari dua bagian
yang sama, masing-masing sebagai sekumpulan item (tes) tersendiri. Cara yang lazim
digunakan untuk membelah suatu tes menjadi dua bagian yang sama adalah dengan
jalan mengelompokkan item-item yang bernomor genap menjadi satu bagian dan
item-item yang bernomor gasal menjadi satu bagian yang lain. Metode ini sering juga
disebut dengan metode gasal genap (odd even method). Sedangkan koefisien
korelasinya antara skor-skor dihitung dari skor-skor belahan pertama dan belahan
kedua.
Adapun teknik paralel, peneliti menyusun dua set kumpulan item (tes) yang
ekuivalen (sama) yang biasanya disebut dengan istilah “bentuk”, misalnya bentuk I
dan bentuk II. Kedua tes tersebut diberikan kepada sekelompok subyek dalam
waktu dan kondisi yang sama. Hasilnya kemudian dikorelasikan untuk memperoleh
koefisien reliabilitasnya.
Berdasarkan pertimbangan segi keuntungan dari masing-masing teknik di
atas, dan disesuaikan dengan gejala-gejala yang akan diukur, maka teknik yang sering
digunakan untuk mengetes reliabilitas alat ukur dalam penelitian adalah dengan
teknik belah dua, yaitu dengan cara membagi genap dan ganjil.
Ada beberapa pertimbangan dan keuntungan digunakannya teknik belah dua,
yakni :
a. Dapat menghindari practice and memory effect
b. Dapat meniadakan kemungkinan-kemungkinan perubahan gejala yang
disebabkan oleh perangsang-perangsang dari item-item alat ukur.
c. Kondisi-kondisi pengukuran lainnya, seperti prosedur pengukuran, suasana
pengukuran dan sebagainya dapat dikendalikan semaksimal mungkin.
5
Beberapa Cacatan tentang Penyusunan Instrumen
Kita mengenal beberapa jenis instrumen dalam pengumpulan data penelitian,
antara lain: observasi, wawancara, angket/kuesioner, dan sumber data sekunder baik
data pribadi maupun masyarakat.
Penyusunan instrumen penelitian harus dijabarkan dengan mengacu pada
tujuan yang hendak dicapai oleh penelitian, peubah/sub-peubah, dan indikator yang
dipergunakan. Setiap item instrumen harus bermakna untuk mengungkap indikator
tertentu dan mempunyai sumbangan yang jelas untuk mencapai tujuan penelitian.
Skema berikut menjelaskan uraian diatas:
Tujuan Peubah/Subpeubah Indikator
INSTRUMEN
Dalam penyusunan instrumen perlu diperhatikan kaidah nilai penelitian, yaitu:
(1) netralitas emosional; peneliti tidak boleh dikendalikan oleh rasa
senang/tidak senang.
(2) universalisme; hasil dari kerja penelitian sedapat mungkin berlaku dimana
dan kapanpun. Fungsi generalisasi sedapat mungkin berlaku luas, kecuali bagi
studi kasus.
(3) pubilk; artinya terbuka, yaitu cara bekerja dan hasil suatu penelitian harus
dikemukakan ke publik sehingga dapat dikritik oleh peneliti lain.
(4) kemandirian; yakni hasil suatu penelitian adalah karena kebenaran atas dasar
fakta, dan bukan karena oleh kekuatan tertentu, misalnya bersandar kepada
jabatan/ gelar akademik yang tinggi atau pengaruh social tertentu atau jargonjargon
besar lain yang berpengaruh.
6
Penyusunan instrumen penelitian juga terkait erat dengan pengukuran peubah.
Terdapat empat tingkatan pengukuran, yaitu nominal, ordinal, interval dan rasio. Kita
tidak boleh mencampur-adukkan dalam analisa data yang tingkat pengukurannya
berbeda, paling tidak harus dibedakan satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait
dengan suatu realita bahwa gejala dalam dunia social berbeda dalam
penampakannya maupun keterikatannya secara langsung dengan dunia empiris
(Black dan Champion, 1992; Siegel, 1994).
Pengukuran skala nominal menunjuk pada klasifikasi, yang digunakan
semata-mata untuk mengklasifikasikan (mengkategorikan) suatu obyek, orang atau
sifat yang berbeda satu dengan yang lain.
Skala ordinal menunjuk pada urutan atau tingkatan, yakni tidak sekedar
berbeda satu dengan yang lain, tetapi bahwa obyek tersebut berada dalam suatu jenis
“hubungan” tertentu dengan kategori tersebut, misalnya lebih tinggi, lebih disukai
dan sebagainya.
Skala interval mempunyai segala sifat ordinal tetapi lebih dari itu jarak antara
dua angka pada skala itu diketahui ukurannya. Contohnya untuk mengukur suhu
dengan Celcius dan Fahrenheit. Sedangkan skala rasio memiliki semua ciri interval,
namun lebih dari itu skala ini memiliki titik nol absolut. Penghasilan adalah contoh
dari skala rasio, karena seseorang yang memiliki penghasilan Rp.1 juta
sesungguhnya memiliki dua kali lebih besar dari yang berpenghasilan Rp 500 ribu.
Tabel berikut membedakan bentuk hubungan yang dimiliki masing-masing
skala.
Bentuk Hubungan Nominal Ordinal Interval Rasio
Ekuivalensi v v v v
Lebih besar dari … v v v
Rasio sembarang
dua interval diketahui
v v
Rasio sembarang
dua harga skala diketahui
v
DESKRIT KONTINU
7
Langkah Menyusun Instrumen
Setelah suatu tujuan dirumuskan , maka peubah/sub peubah yang mengacu
pada tujuan tersebut dijabarkan ke dalam konsep-konsep penting. Konsep penting
tersebut harus dibuat rumusan definisinya hingga menjadi definisi kerja atau definisi
operasional yang akan digunakan dalam penelitian. Suatu konsep dapat terdiri dari
beberapa indikator. Indikator inilah yang akan dijadikan petunjuk konkrit yang dapat
dilihat (diamati dan didengar) tentang suatu konsep dengan suatu parameter tertentu.
Parameter disini dimaksudkan sebagai bentuk/jenis ukuran yang akan dipergunakan
untuk mengukur data sesuai dengan jenisnya ( baik deskrit maupun kontinu) dan
tingkat pengukurannya ( baik nominal, ordinal, interval, maupun rasio).
Jadi dalam menyusun instrumen harus diketahui dahulu peubah/
subpeubahnya, kemudian didefinisikan konsep yang terkandung didalamnya, lalu
disusun indikator dan parameternya.
Sebagai contoh, kerangka berikut ini untuk menyusun instrumen ( angket)
guna mengetahui latar belakang sosial ekonomi petani.
Kerangka Penyusunan Instrumen ( Karsidi, 1999)
Peubah Sub peubah Indikator Parameter
Latar belakang
sosial ekonomi
1. Penguasaan
lahan
pertanian
• Tingkat
penguasaan lahan:
(1) luas tanah
sawah
(2) luas tanah
lading/tegalan
(3) luas tanah
pekarangan
Jumlah luas
lahan (hektar)
2. Pemilikan
aset pertanian
non lahan
• Tingkat pemilikan:
(1) hewan ternak
(2) handtractor
(3) pompa air
(4) penyemprot
(5) mesin huller
(6) perontok padi
(7) lainnya ……
Jumlah nilai
rupiah
dan seterusnya ………
8
Langkah selanjutnya, yaitu menterjemahkan setiap indikator ke dalam
rumusan pertanyaan operasional yang mampu dimengerti tanpa makna ganda bagi
peneliti maupun penjawabnya. Setiap pertanyaan (item) sebagai instrumen penelitian
hanya boleh dirumuskan/dijabarkan dari indikator penelitian. Dengan kata lain suatu
item pertanyaan yang baik akan dapat menunjukkan jawaban terhadap indikator
yang telah dirancang/ditetapkan.
Lebih dari itu, perlu diperhatikan bahwa setiap pertanyaan harus disesuaikan
dengan siapa sumber informasi ( siapa akan menjadi respondenya) di dalam rumusan
bahasanya, tingkat kesulitan dan kemudahan menjawabnya . Dengan demikian , maka
suatu instrumen penelitian akan mempu menjawab apa yang seharusnya dijawab,
atau akan mampu mengumpulkan data yang seharusnya dikumpulkan oleh suatu
penelitian. Semoga bermanfaat (rk).
Daftar Bacaan
Black, James A. dan Dean J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian
Sosial (terjemahan). Bandung: PT.Eresco.
Hadi, Sutrisno. 1980. Metodologi Riset, Jilid 2. Yigyakarta: Yas. Penerbit Fakultas
Psikologi UGM.
Karsidi, Ravik. 1999. Kajian Keberhasilan Transformasi Pekerjaan Dari Petani ke
Pengrajin Industri Kecil, Disertasi Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan,
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Siegel, Sidney. 1994. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:
PT.Gramedia. 

KARAKTERISTIK BUDAYA

Dalam karakteristik budaya sunda sendiri memiliki kemampuan-kemampuan yang menjadikannya sebagai daya hidup bagi masyarakatnya, yang diantaranya seperti : Kemampuan berkoordinasi dan berorganinasi, dimaknai sebagai kemampuan berinteraksi secara sosial. Kemampuan beradaptasi, dimaknai sebagai kemampuan kesadaran untuk secara kreatif mengatasi tantangan keadaan, tantangan zaman dan tantangan berbagai ragam pergaulan. Kemampuan mobilitas, dimaknai sebagai kemampuan untuk dengan kreatif menciptakan mobilitas sosial, politik, dan ekonomi, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Kemampuan tumbuh dan berkembang, diartikan sebagai kemampuan kesadaran untuk selalu maju, selalu bertambah luas dan dalam wawasan-nya selalu menawarkan pemikiran-pemikiran yang segar dan baru Kemampuan regenerasi, dimaknai sebagai kemampuan untuk mendorong munculnya generasi baru yang kreatif dan produktif.

Di samping daya hidup, unsur lain lagi yang juga penting dalam suatu kebudayaan adalah mutu hidup. Mutu hidup bukanlah merupakan kesempurnaan tetapi lebih dimaknai sebagai kebiasaan. Adapun kebisaan dalam hidup manusia merupakan kolaborasi harmonis dari tiga aspek, yakni :

Ø Tanggung Jawab, dimaknai sebagai suatu kesadaran untuk selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban secara penuh sesuai dengan tanggung jawab sosialnya.

Ø Idealisme, dimaknai sebagai rumusan sikap hidup seseorang di dalam menempuh padang dan hutan belantara kehidupan. Idealisme sekaligus merupakan sumber kepuasan batin seseorang.

Ø Spontanitas, dimaknai sebagai ungkapan naluri dan intuisi manusia. Tanpa spontanitas akan menyebabkan hidup menjadi kering dan hambar.

NILAI TRADISI MASYARAKAT SUNDA

Meniliki nilai budaya yang tinggi, budaya Sunda dicirikan dengan telah dikenalnya budaya tulis semenjak zaman dahulu. Pesan-pesan para leluhur Sunda tersebut menunjukkan bahwa makna yang dimiliki dari budaya Sunda tergolong kedalam makna nilai yang tinggi dan strategis serta sangat dihormati oleh masyarakatnya. Pesan moral yang awalnya terbatas hanya untuk masyarakat kerajaan Sunda ternyata memiliki nilai yang bersifat universal yang dapat juga dijadikan panutan oleh masyarakat di luar etnis Sunda agar kita selalu bersikap baik memperlakukan alam. Karena secara nurani setiap komunitas makhluk hidup termasuk manusia, siapa dan seberapapun kecilnya selalu membutuhkan tatanan kehidupan yang seimbang, selaras dan harmonis.

NILAI RELIGIUS

Dalam perjalanannya nilai-nilai tradisi dan religius masyarakat Sunda terus mengalami proses perkembangan sesuai dengan perubahan zaman. Agama Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat Sunda saat ini. Dalam aplikasinya, perkembangan keagamaan seperti yang terjadi pada masyarakat Sunda sebenarnya merupakan proses perkembangan dari mitos-mitos masyarakat yang pada intinya selalu mencari bentuk hubungan yang seimbang antara keberadaan manusia dengan lingkungan alamnya.

PERUBAHAN BUDAYA MASYARAKAT SUNDA

Tingginya budaya Sunda seperti dikenalnya budaya tulis, dimana budaya tulis sudah dikenal sejak dahulu kala yang diwujudkan dalam berbagai bentuk prasasti tampaknya sudah semakin tidak terlihat dalam kehidupan masyarakat Sunda saat ini. Realitas kondisi keempat daya hidup yang dimiliki oleh budaya Sunda dalam menghadapi berbagai bentuk tantangan. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespon berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kmasyarakat begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang mulai terhapus oleh kebudayaan asing.

Sebagai contoh yang paling jelas adalah bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas masyarakat Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan “keterbelakangan”, untuk tidak dikatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada masyarakat Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.

Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara pemikiran-pemikiran baru, itikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Kebudayaan Sunda pun tampaknya terlihat masyarakat membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda yang gagap dengan regenerasi.

Generasi-generasi baru masyarakat Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta “terlalu majunya” pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan norma-norma yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.

Mengamati daya hidup kebudayaan Sunda yang hanya memperlihatkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi pada aspek mutu hidup yang digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik dari aspek tanggung jawab, idealisme maupun spontanitas. Lemahnya rasa tanggung jawab tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewajiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, kebudayaan umat manusia pun mengalami perubahan. Menurut para pemikir post modernis dekonstruksi, dunia tak lagi berada dalam dunia kognisi, atau dunia tidak lagi mempunyai apa yang dinamakan pusat kebudayaan sebagai tonggak pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan. Hal ini berarti semua kebudayaan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, dan yang ada hanyalah pusat-pusat kebudayaan tanpa periferi. Sebuah kebudayaan yang sebelumnya dianggap pinggiran akan bisa sama kuat pengaruhnya terhadap kebudayaan yang sebelumnya dianggap pusat dalam kehidupan manusia modern.

Wajah kebudayaan yang sebelumnya dipahami sebagai proses linier yang selalu bergerak ke depan dengan berbagai penyempurnaannya juga mengalami perubahan. Kebudayaan tersebut tak lagi sekadar bergerak maju tetapi juga ke samping kiri, dan kanan memadukan diri dengan kebudayaan lain, bahkan kembali ke masa lampau kebudayaan itu sendiri.

Lokalitas kebudayaan karenanya menjadi tidak relevan lagi dan eklektisme menjadi norma kebudayaan baru. Manusia cenderung mengadaptasi berbagai kebudayaan, mengambil sedikit dari berbagai keragaman budaya yang ada, yang dirasa cocok buat dirinya, tanpa harus mengalami kesulitan untuk bertahan dalam kehidupan.

Perubahan tersebut dikenal sebagai perubahan sosial atau social change. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya, namun perubahannya hanya mencakup kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, kecuali organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan sosial tersebut bardampak pada munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru yang bermutu tinggi dan hal inilah yang menjadi dasar terjadinya revolusi industri, serta kemunculan semangat asketisme intelektual. Menurut Prof Sartono, asketisme dan expertise ini merupakan kunci kebudayaan akademis untuk menuju budaya yang bermutu.

Sebagai homo faber, manusia mencipta dan bekerja, untuk memperoleh kepuasan atau self fulfillment. Dalam kaca mata agama dan unsur untuk beribadah, suatu orientasi kepada kepuasan batin dan menuju ke arah sesuatu yang transendental. Di sinilah yang disebut etos bangsa itu muncul.

Sebenarnya etos bangsa kita juga sudah banyak disinggung oleh para pujangga seperti dalam “Serat Wedatama” karya Mangkunegoro IV yang disebutnya sebagai etos “mesu budi”. Etos ini merupakan suatu ajakan untuk mementingkan penampilan yang bermutu baik lahir, maupun batin, atau kalau dalam bahasa modern disebut juga etos intelektual.

Kemudian, etos intelektual inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berkarya dan terus menciptakan hal-hal baru guna meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang modern. Sedangkan proses menjadi masyarakat yang modern disebut dengan istilah Modernisasi. Jadi dengan kata lain, modernisasi ialah suatu proses transformasi total, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya.

B. Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Masyarakat Menjadi Masyarakat yang Modern

  1. perkembangan ilmu
  2. perkembangan teknologi
  3. perkembangan industri
  4. perkembangan ekonomi

C. Gejala-gejala Modernisasi

1. Bidang IPTEK

Gejala Modernisasi di bidang IPTEK ditandai dengan adanya penemuan dan pembaharuan unsur teknologi baru yang dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.

2. Bidang Ekonomi

Gejala Modernisasi di bidang Ekonomi ialah meningkatnya produktivitas ekonomi dan efisiensi sumber daya yang tersedia, serta pemeanfaatan SDA yang memperhatikan kelestarian alam sekitar.

3. Bidang Politik dan Idiologi

Pada bidang ini, gejala modern ditandai dengan adanya system pemerintahan perwakilan yang demokratis, pemerintah yang diawasi dan dibatasi kekuasaanya, dihormati hak-hak asasinya serta dijaminnya hak-hak sosial.

4. Bidang Agama dan Kepercayaan

Gejala Modernisasi di bidang Agama dan Kepercayaan ditandai dengan adanya pengembangan nalar (rasio) dan kebahagiaan kebendaan (materi), yang pada akhirnya akan menimbulkan paham sekularisasi dan sekularisme.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Masyarakat Modern

Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan, sehingga disebut masyarakat kota. Namun tidak semua masyarakat kota tidak dapat disebut masyarakat modern,sebab orang kota tidak memiliki orientasi ke masa kini, misalnya gelandangan.

B. Ciri-ciri Masyarakat Modern

1. Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.

2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang saling memepengaruhi

3. Keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

4. Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesiyang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan

5. Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.

6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks

7. Ekonomi hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkanatas penggunaan uangdan alat-alat pembayaran lain.

C. Masyarakat Modern dilihat dari berbagai Aspek

Aspek Mental Manusia :

1. Cenderung didasarkan pada pola pikirserta pola perilaku rasionalatau logis, dengan cirri-cirimenghargai karya orang lain, menghargai waktu, menghargai mutu, berpikir kreatif, efisien, produktif percaya pada diri sendiri, disiplin, dan bertanggung jawab.

2. Memiliki sifat keterbukaan, yaitu dapat menerima pandangan dan gagasan orang lain.

Aspek Teknologi :

1. Teknologi merupakan factor utama untuk menunjang kehidupan kearah kemajuan atau modernisasi.

2. Sebagai hasil ilmu pengetahuan dengan kemampuan produksi dan efisiensi yang tinggi.

Aspek Pranata Sosial :

I. Pranata Agama :

Relatif kurang terasa dan tampak dalam kehidupan sehari-hari, diaibatkan karena sekularisme

II. Pranata Ekonomi :

1. Bertumpu pada sektor Indusri Pembagian kerja yang lebih tegas dan memiliki batas-batas yang nyata.

2. Pembagian kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin kurang terlihat.

3. Kesamaan kesempatan kerja antar priadan wanita sangat tinggi.

4. Kurang mengenal gotong-royong.

5. Diobedakan menjadi tiga fungsi, yaitu: produksi distribusi, dan konsumsi.

6. Hampir semua kebutuhan hidupmasyarakat diperoleh melalui pasar dengan menggunakan uang sebagai alat tukar yang sah.

III. Pranata Keluarga :

1. Ikatan kekeluargaan sudah mulai lemahdan longgar, karena cara hidup yang cenderung inidividualis.

2. Rasa solidaritas berdasarkan kekerabatan umumnya sudah mulai menipis.

IV. Pranata Pendidikan :

Tersedianya fasilitas pendidikan formal mulai dari tingkat rendah hingga tinggi, disamping pendidikan keterampilan khusus lainnya.

V. Pranata Politik :

Adanya pertumbuhan dan berkembangnya kesadaran berpolitik sebagai wujud demokratisasi masyarakat.

D. Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Modern

Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga.

Sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja.

Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal. Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.

Para penganut paham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern.

Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.

E. Kebudayaan Modern

Proses akulturasi di Negara-negara berkembang tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.

Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).

Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional yang telah ada? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Menurut para ahli kebudayaan modern dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

a. Kebudayaan Teknologi Modern

Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.

Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.

Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.

b. Kebudayaan Modern Tiruan

Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).

Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.

Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.

Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.

c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat

Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.

Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).

F. Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern

1. Kebudayaan Modern Tiruan

Tantangan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah Kebudayaan Modern Tiruan. Dia mengancam justru karena tidak sejati, tidak substansial. Yang ditawarkan adalah semu. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastik, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.

Kebudayaan Blasteran Modern bagaikan drakula: ia mentereng, mempunyai daya tarik luar biasa, ia lama kelamaan meyedot pandangan asli kita tentang nilai, tentang dasar harga diri, tentang status. Ia menawarkan kemewahan-kemewahan yang dulu bahkan tidak dapat kita impikan. Ia menjanjikan kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berhenti berpikir sendiri, berhenti membuat kita kehilangan penilaian kita sendiri. Akhirnya kita kehabisan darah , kehabisan identitas. Kebudayaan modern tiruan membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, sekaligus juga tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern sungguhan (Suseno;1992)

2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah

Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa, budaya adalah perjuangan manusia dalam mengatasi masalah alam dan zaman. Permasalahan yang paling mendasar bagi manusia adalah masalah makan, pakaian dan perumahan. Ketika orang kekurangan gizi bagaimana ia akan mendapat orang yang cerdas. Ketika kebutuhan pokok saja tidak terpenuhi bagaimana orang akan berpikir maju dan menciptakan teknologi yang hebat. Jangankan untuk itu, permasalahan pemenuhan kebutuhan kita sangat mempengaruhi pola hubungan di antara manusia. Orang rela mencuri bahkan membunuh agar ia bisa makan sesuap nasi. Sehingga, kelalaian dalam hal ini bukan hanya berdampak pada kemiskinan, kelaparan, kematian, akan tetapi akan berpengaruh dalam tatanan budaya-sosial masyarakat.

3. Masalah Pendidikan yang Tepat

Pendidikan masih menjadi permasalahan yang menjadi perhatian serius jika bangsa ini ingin dipandang dalam percaturan dunia. Ada fenomena yang menarik terkait dengan hal ini, yaitu mengenai kolaborasi kebudayaan dengan pendidikan, dalam artian bagaimana sistem pendidikan yang ada mengintrinsikkan kebudayaan di dalamnya. Dimana ada suatu kebudayaan yang menjadi spirit dari sistem pendidikan yang kita terapkan.

4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Problem ini beranjak ketika kita sampai saat ini masih menjadi konsumen atas produk-produk teknologi dari negara luar. Situasi keilmiahan kita belum berkembang dengan baik dan belum didukung oleh iklim yang kondusif bagi para ilmuan untuk melakukan penelitian dan penciptaan produk-produk, teknologi baru. Jika kita tetap mengandalkan impor produk dari luar negeri, maka kita akan terus terbelakang. Oleh karena itu, hal ini tantangan bagi kita untuk mengejar ketertinggalan iptek dari negara-negara maju.

5. Kondisi Alam Global

Beberapa waktu yang lalu di halaman depan harian Kompas tanggal 12 April 2007, ada berita menarik mengenai keadaan bumi hari ini, ’Pemanasan Global, Jutaan Orang akan Teracam”. Pemanasan global akan memberi dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan juta warga di dunia. Demikianlah antara lain isi laporan kedua PBB yang sudah dipublikasikan tahun 2007. Laporan pertama berisikan bukti ilmiah perubahan iklim, sedangkan laporan ketiga akan membeberkan tindakan untuk menanganinya.

Laporan para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) dibeberkan dalam jumpa pers secara serentak di berbagai belahan dunia, Selasa (10/04/2007). Laporan setebal 1.572 halaman itu ditulis dan dikaji 441 anggota IPCC.

Salah satu dampak pemanasan global adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang. Hal itu akan mengakibatkan gunung es di Amerika Latin mencair. Dampak lanjutannya adalah kegagalan panen, yang hingga tahun 2050 mengakibatkan 130 juta penduduk dunia, terutama di Asia, kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga akan mengalami hal yang sama.

Laporan itu menggarisbawahi dampak pemanasan global berupa meningkatnya permukaan laut, lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat. Disebutkan, 30% garis pantai di dunia akan lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub mencair hingga terjadi aliran air di kutub utara. Hal itu akan mengakibatkan terusan Panama terbenam.

Naiknya suhu memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai yang selama ini aman dari gangguan badai. Banyak tempat yang kini kering makin kering, sebaliknya berbagai tempat basah akan semakin basah. Kesenjangan distribusi air secara alami ini akan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam pemanfaaatan air untuk kepentingan industri, pertanian dan penduduk.

Asia menjadi bagian dari bumi yang akan paling parah. Perubahan iklim yang tak terdeteksi akan menjadi bencana lingkungan dan ekonomi, dan buntutnya adalah tragedi kemanusiaan. Laporan itu mengingatkan, setiap kenaikan suhu udara 2 derajat celsius, antara lain akan menurunkan produksi pertanian di Cina dan Bangladesh hingga 30 persen hingga 2050. Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan menurunya lapisan es di Pegunungan Himalaya. Sekitar 100 juta warga pesisir di Asia pemukimannya tergenang karena peningkatan permukaan laut setinggi antara 1 milimeter hingga 3 milimeter setiap tahun. Saat ini, pemanasan global sudah terasa dengan terjadinya kematian dan punahnya spesies di Afrika dan Asia

G. Dampak Negatif dari budaya Masyarakat Modern

1. Penyalahgunaan media teknologi sebagai sarana pencarian hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan.

2. Timbulnya praktek-peraktek curang dalam dunia kerja seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

3. Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan institusi-institusi dan simbol-simbol politis dari initusi-institusi dan simbol-simbol religius. Kebijakan-kebijakan Negara yang mengatur sebuah masyarakat tidak lagi didasarkan pada norma-norma agama, melainkan pada asas-asas non-religius, seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran Negara nasional dan Negara konstitusional di zaman modern menandai proses ini. Konstitusi Negara modern tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin religius, seperti pada Negara-negara tradisional di Eropa abad pertengahan, melainkan pada prosedur-prosedur birokratis rasional yang mengakui kesamaan hak dan kebebasan setiap warganegara. Mengapa masyarakat modern menempuh jalan sekularisasi? Karena (1) Otoritas politis tidak merasa cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik dan ingin juga memberikan regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan oleh otoritas religius; dan (2) pikiran kritis dicurigai sebagai unsur ‘subversif’ yang melemahkan kepatuhan kepada otoritas. Sekularisasi adalah upaya memberi batas-batas di antara kedua bidang itu dengan memandang keduanya otonom, yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang lain. Dengan sekularisasi, urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam ruang privat, tercakup dalam kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan hidupnya. Efek positif sekularisasi adalah toleransi agama, sebab doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasi di dalam politik.
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.

4. Liberalisme adalah ideologi modern, karena ia muncul bersamaan dengan modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat modern tak lain daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita tentang modernitas tak kurang daripada cerita tentang liberalisme dan para lawannya. Dalam arti ini, liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme dan absolutisme kekuasaan. Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi Negara, maka liberalisme sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam pasar orang tidak bertransaksi dengan membeda-bedakan latar-belakang agama dan kebudayaan. Yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam transaksi orang melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya yang tidak relevan untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang melihat agama sebagai persoalan privat yang tidak relevan untuk proses pertukaran itu oleh liberalisme diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih luas, yaitu di dalam Negara modern. Liberalisme ekonomi mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan secara ekonomis oleh mekanisme pasar bebas itu. Namun liberalisme yang berkaitan dengan pendirian intelektual dan sikap-sikap politis justru membantu sebuah masyarakat untuk toleran terhadap kemajemukan. Jika Negara berkonsentrasi pada the problem of justice dan tidak mengintervensi the problem of good life yang adalah kewenangan kelompok-kelompok dalam masyarakat itu, Negara akan menjadi milik bersama kelompok-kelompok sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif. Negara liberal berupaya bersikap netral terhadap agama-agama di dalamnya, dan ini justru mendukung kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat sebagai hasil dari sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada sekularisme. Artinya, suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni ingin menyingkirkan agama di dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki respek terhadap agama, namun regulasi-regulasinya tetap sekular. Ia bersikap netral dari agama, namun memberi infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk berkembang, sebab para anggota agama-agama itu adalah juga warganegaranya.

5. Pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi di dalam kebudayaan dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi-orientasi nilai di dalam masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah the fact of plurality, yakni suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi, masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam dirinya. Pluralitas tidak serta merta memunculkan pluralisme, karena tidak semua orang setuju pluralitas. Kaum konservatif dan rmonatis, misalnya, akan meratapi pluralitas sebagai sindrom disintegrasi sosial dan moral. Namun ada kelompok-kelompok yang menerima pluralitas sebagai kenyataan hidup bersama dan mencoba hidup bersama secara toleran. Kelompok-kelompok ini bisa berasal dari kalangan agama, cendikia, politikus atau budayawan. Pandangan yang menerima pluralitas sebagai realitas hidup bersama dan mencoba mengembangkan sarana-sarana moral dan intelektual untuk membuka ruang kebebasan dan toleransi bagi aneka orientasi nilai etnis, religius ataupun poltis di dalam mayarakat modern itu kita sebut pluralisme.
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu Kristen, satu Hindhu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – di antara mereka konservatif garis keras – terobsesi pada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama.  Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai  sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Perubahan sosial mendorong munculnya semangat-semangat untuk menciptakan produk baru , sehinnga terjadilah revolusi industri, dan kemunculan semangat asketisme intelektual. Kemudian, asketisme intelektual menimbulkan etos intelektual, dan inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berkarya dan terus menciptakan hal-hal baru guna meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang modern. Sedangkan proses menjadi masyarakat yang modern disebut dengan istilah Modernisasi.

I. Pengertian Masyarakat Modern

Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini.

II. Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Masyarakat Menjadi Masyarakat yang Modern

1. perkembangan ilmu

2. perkembangan teknologi

3. perkembangan industri

4. perkembangan ekonomi

III. Gejala-gejala Modernisasi

1. adanya penemuan dan pembaharuan unsur teknologi baru yang dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.

2. meningkatnya produktivitas ekonomi dan efisiensi sumber daya yang tersedia, serta pemeanfaatan SDA yang memperhatikan kelestarian alam sekitar.

3. adanya system pemerintahan perwakilan yang demokratis, pemerintah yang diawasi dan dibatasi kekuasaanya, dihormati hak-hak asasinya serta dijaminnya hak-hak sosial.

4. adanya pengembangan nalar (rasio) dan kebahagiaan kebendaan (materi), yang pada akhirnya akan menimbulkan paham sekularisasi dan sekularisme.

IV. Ciri-ciri Masyarakat Modern

1. Hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi.

2. Hubungan dengan masyarakat lain dilakukan secara terbuka dengan suasana yang saling memepengaruhi

3. Keprcayaan yang kuat akan Ilmu Pengetahuan Teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

4. Masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesiyang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan kejuruan

5. Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata.

6. Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks

7. Ekonomi hamper seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang didasarkanatas penggunaan uangdan alat-alat pembayaran lain.

V. Kebudayaan Modern

1. Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan suatu kebudayaan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern.

2. Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja

3. Kebudayaan-Kebudayaan Barat

VI. Tantangan Kebudayaan Masyarakat Modern

1. Kebudayaan Modern Tiruan

2. Bagaimana Memberi Makan, Sandang, dan Rumah

3. Masalah Pendidikan yang Tepat

4. Mengejar Kemajuan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

5. Kondisi Alam Global

VII. Dampak Negatif dari budaya Masyarakat Modern

1. Penyalahgunaan media teknologi

2. Timbulnya praktek-peraktek curang

3. Sekularisasi

4. Liberalisme

5. Pluralisme

B. Saran

Sebaiknya kita sebagai masyarakat modern tidak harus menyerap semua budaya modernisasi, agar tidak terjadi dampak-dampak negative dalam kehidupan kita sebagai masyarakat yang modern.

Daftar Pustaka

Bakker, JWM. 1999. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

Davis, Kingsley. 1960. Human Society The Macmillan Company. New York.

Dewantara, Ki Hajar. 1994. Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa..

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta

Sarjono. Agus R (Editor). 1999. Pembebasan Budaya-Budaya Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Soemardjan, S dan Breazeale, K. 1993. Cultural Change in Rural Indonesia; Impact of Village Development. Honolulu: UNS-YISS-East West Center.

Sorokin, Pitirim A. 1957. Social and Cultural Dynamics. Boston: Sargent.
Make a Free Website with Yola.